TERKINI

Pemilu Era Orde Lama (1945-1965) - Bagian 2

Sejarah Pemilu di Indonesia

Pemilu 1955 adalah perhelatan pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan bangsa ini, dan juga merupakan satu-satunya pemilu yang terjadi pada era orde lama.

Kala itu Republik Indonesia baru saja menginjak usia 10 tahun pascamerdeka 1945.

Pemilu 1955 ada yang menilainya sebagai pemilu paling demokratis selama penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pemilihan umum pertama yang diadakan secara nasional, setelah pengalaman yang minim pada pemilihan umum propinsi dan kotapraja di era kolonial. Sebelum Perang Dunia Kedua meletus, pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang sama sekali tidak memberikan pengalaman demokrasi buat para penyelenggara republik yang baru ini. Walau miskin pengalaman, hajatan nasional 1955 itu sukses besar. Di sanjung para petinggi dunia.
 
Jika dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.

Yang jelas, sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan Soekarno dan Hatta 17 Agustus 1945, pemerintah saat itu sebenarnya sudah menyatakan keinginannya menyelenggarakan pemilu awal tahun 1946.

Hal itu dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.

Namun faktanya pemilu baru berlangsung 1955, dan penyelenggaraannya tidak sesuai pula dengan tujuan maklumat Hatta. Pemilu 1955 justru dilakukan dua kali yakni 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.

Keterlambatan dan penyimpangan tersebut bukan tanpa sebab. Kendalanya bersumber dari dalam dan luar negeri.

Sesungguhnya pemilihan umum ini sudah direncanakan sejak dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pada 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan tentang rencana pelaksanaan Pemilu, dan pada 1946 Pemilu sempat diselenggarakan di Karesidenan Kediri dan Surakarta.

Agresi militer Belanda, iklim politik yang panas dingin  pada masa revolusi dan penyelesaian terhadap agresi militer Belanda yang bertele-tele menyebabkan pemilu terus tertunda. Perhatian para pemimpin republik terfokus pada menyelesaikan sengketa dengan Belanda di meja perundingan.

Menyusul hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia menjadi negara yang berdaulat sepenuhnya. Bentuk federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menjadi salah satu kesepakatan KMB tidak berumur panjang. Negara-negara federal bikinan Belanda pada akhirnya mau tak mau mengikuti kehendak umum  kelompok nasionalis. Maka  meleburkan Negara-negara federasi itu ke dalam negara kesatuan.

Sejak 1950 berbagai kabinet yang silih berganti memerintah gagal memenuhi janjinya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pertikaian militer versus sipil pada peristiwa 17 Oktober 1952 menmbuat situasi politik dalam negeri terus mendidih. Kabinet koalisi PNI-Masjumi-PSI yang dipimpin Wilopo sebetulnya sudah goyah dengan berbagai persoalan politik yang terjadi baik di dalam maupun di luar parlemen. Tuntutan pembubaran parlemen oleh sekelompok militer dalam peristiwa 17 Oktober 1952 yang kemudian ditolak oleh Presiden Soekarno, perlahan beralih menjadi isu penyelenggaraan pemilu.

Pada November 1952 Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Dia mendapat sokongan dari beberapa kalangan, termasuk mereka yang terkenal vokal dan aktif secara politis. Undang-undang pemilihan umum ini meniru apa yang telah dilakukan di India pada 1951-1952. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara.

Kabinet Wilopo berakhir dan digantikan oleh Ali Sastroamidjojo. Namun belum lagi Pemilu diselenggarakan, krisis politik mendera Kabinet Ali Sastroamidjojo yang membuatnya terpental jatuh. Kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masjumi. Pemilu baru berhasil diselenggarakan di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap.

Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut  menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.

Menurut George McTurnan Kahin, pemilu 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan.

Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Di banyak pedesaan petugas pemilihan umum dipercayakan kepada panitia-panitia yang malahan sama sekali tak bisa membaca.

Dalam waktu-waktu terakhir menjelang pelaksanaan Pemilu, panitia disibukkan dengan pelatihan pemungutan suara di seluruh wilayah pemilihan. Penduduk juga diajak terlibat aktif di dalam persiapan kegiatan pemilu. Mereka diperkenalkan dengan tanda gambar dan cara menyoblos kertas suara.

Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.

Dengan berbagai macam problem yang merintangi, pemilu berhasil diselenggarakan. PNI keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 8.434.653 suara untuk Parlemen dan 9.070.218 untuk Konstituante. Kemenangan PNI disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Sementara itu PSI sebagai partai yang populer di lingkungan intelektual, harus puas berada di posisi ke-8 dengan perolehan suara 753.191 untuk Parlemen dan 544.803 untuk Konstituante.

Penyelenggaraan Pemilu 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.


Meskipun dua kendala itu menghambat proses pemilu di Indonesia, tetap ada indikasi kuat pemerintah berkeinginan menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu.

Dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung), untuk menghindari distorsi akibat banyaknya warga negara yang buta huruf kala itu.

Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.

Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh enam bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953, yang melahirkan UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.

UU inilah yang kemudian menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR praktis tidak berlaku lagi.

Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu 1955 yang diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan, berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Indonesia pun menuai pujian dari berbagai pihak termasuk negara-negara asing.

Data yang dihimpun KPU mencatat kesadaran berkompetisi secara sehat pada Pemilu 1955 sangat tinggi. Meskipun calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya.
 
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut: 

Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante
Pada 26 Maret 1956, sebagai hasil dari Pemilu, dibentuklah Parlemen yang kemudian diikuti pembentukan Konstituante pada 10 November. Parlemen baru itu terdiri dari wakil-wakil 28 partai peserta Pemilu, organisasi dan perkumpulan pemilih yang dibagi ke dalam 17 fraksi atau kelompok parlemen.  Harapan pembaruan wajah parlemen terpenuhi dengan tampilnya politisi-politisi baru yang sebelumnya tidak pernah duduk di Parlemen lama.

Kesuksesan menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil, terlebih di saat negeri ini baru saja merdeka dan sebagian besar panitia penyelenggaranya buta huruf, dianggap sebagai pencapaian besar bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.

 Selembar foto hitam-putih memerlihatkan deretan orang yang antre di depan bilik suara. Salah seorang di antaranya tampak lebih menonjol: ia berkopiah, berkacamata dan bertubuh lebih tinggi dari yang lain. Dialah Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama yang juga sedang menunggu giliran masuk kamar.

Foto tersebut, dengan deretan antrean yang mengular,  menunjukan antusias rakyat terhadap pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan setelah Indonesia merdeka. Ada 29 partai politik dan individu yang menjadi peserta pemilihan umum. Sementara itu hak memilih diberikan bagi seluruh warga negara Indonesia berusia di atas 18 tahun atau paling tidak sudah kawin.

Inilah pemilihan umum  pertama yang diadakan secara nasional, setelah pengalaman yang minim pada pemilihan umum propinsi dan kotapraja di era kolonial. Sebelum Perang Dunia Kedua meletus, pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang sama sekali tidak memberikan pengalaman demokrasi buat para penyelenggara republik yang baru ini. Walau miskin pengalaman, hajatan nasional 1955 itu sukses besar. Di sanjung para petinggi dunia.

Sesungguhnya pemilihan umum ini sudah direncanakan sejak dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pada 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan tentang rencana pelaksanaan Pemilu, dan pada 1946 Pemilu sempat diselenggarakan di Karesidenan Kediri dan Surakarta.

Agresi militer Belanda, iklim politik yang panas dingin  pada masa revolusi dan penyelesaian terhadap agresi militer Belanda yang bertele-tele menyebabkan pemilu terus tertunda. Perhatian para pemimpin republik terfokus pada menyelesaikan sengketa dengan Belanda di meja perundingan.

Menyusul hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia menjadi negara yang berdaulat sepenuhnya. Bentuk federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menjadi salah satu kesepakatan KMB tidak berumur panjang. Negara-negara federal bikinan Belanda pada akhirnya mau tak mau mengikuti kehendak umum  kelompok nasionalis. Maka  meleburkan Negara-negara federasi itu ke dalam negara kesatuan.

Sejak 1950 berbagai kabinet yang silih berganti memerintah gagal memenuhi janjinya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pertikaian militer versus sipil pada peristiwa 17 Oktober 1952 menmbuat situasi politik dalam negeri terus mendidih. Kabinet koalisi PNI-Masjumi-PSI yang dipimpin Wilopo sebetulnya sudah goyah dengan berbagai persoalan politik yang terjadi baik di dalam maupun di luar parlemen. Tuntutan pembubaran parlemen oleh sekelompok militer dalam peristiwa 17 Oktober 1952 yang kemudian ditolak oleh Presiden Soekarno, perlahan beralih menjadi isu penyelenggaraan pemilu.

Pada November 1952 Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Dia mendapat sokongan dari beberapa kalangan, termasuk mereka yang terkenal vokal dan aktif secara politis. Undang-undang pemilihan umum ini meniru apa yang telah dilakukan di India pada 1951-1952. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara.

Kabinet Wilopo berakhir dan digantikan oleh Ali Sastroamidjojo. Namun belum lagi Pemilu diselenggarakan, krisis politik mendera Kabinet Ali Sastroamidjojo yang membuatnya terpental jatuh. Kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masjumi. Pemilu baru berhasil diselenggarakan di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap.

Menurut George McTurnan Kahin, pemilu 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan.

Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Di banyak pedesaan petugas pemilihan umum dipercayakan kepada panitia-panitia yang malahan sama sekali tak bisa membaca.

Dalam waktu-waktu terakhir menjelang pelaksanaan Pemilu, panitia disibukkan dengan pelatihan pemungutan suara di seluruh wilayah pemilihan. Penduduk juga diajak terlibat aktif di dalam persiapan kegiatan pemilu. Mereka diperkenalkan dengan tanda gambar dan cara menyoblos kertas suara.

Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.

Dengan berbagai macam problem yang merintangi, pemilu berhasil diselenggarakan. PNI keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 8.434.653 suara untuk Parlemen dan 9.070.218 untuk Konstituante. Kemenangan PNI disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Sementara itu PSI sebagai partai yang populer di lingkungan intelektual, harus puas berada di posisi ke-8 dengan perolehan suara 753.191 untuk Parlemen dan 544.803 untuk Konstituante.

Penyelenggaraan Pemilu 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.

Pada 26 Maret 1956, sebagai hasil dari Pemilu, dibentuklah Parlemen yang kemudian diikuti pembentukan Konstituante pada 10 November. Parlemen baru itu terdiri dari wakil-wakil 28 partai peserta Pemilu, organisasi dan perkumpulan pemilih yang dibagi ke dalam 17 fraksi atau kelompok parlemen.  Harapan pembaruan wajah parlemen terpenuhi dengan tampilnya politisi-politisi baru yang sebelumnya tidak pernah duduk di Parlemen lama.

Kesuksesan menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil, terlebih di saat negeri ini baru saja merdeka dan sebagian besar panitia penyelenggaranya buta huruf, dianggap sebagai pencapaian besar bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.(Bonie Triyana)


Selembar foto hitam-putih memerlihatkan deretan orang yang antre di depan bilik suara. Salah seorang di antaranya tampak lebih menonjol: ia berkopiah, berkacamata dan bertubuh lebih tinggi dari yang lain. Dialah Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama yang juga sedang menunggu giliran masuk kamar.

Foto tersebut, dengan deretan antrean yang mengular,  menunjukan antusias rakyat terhadap pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan setelah Indonesia merdeka. Ada 29 partai politik dan individu yang menjadi peserta pemilihan umum. Sementara itu hak memilih diberikan bagi seluruh warga negara Indonesia berusia di atas 18 tahun atau paling tidak sudah kawin.

Inilah pemilihan umum  pertama yang diadakan secara nasional, setelah pengalaman yang minim pada pemilihan umum propinsi dan kotapraja di era kolonial. Sebelum Perang Dunia Kedua meletus, pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan pemilihan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang sama sekali tidak memberikan pengalaman demokrasi buat para penyelenggara republik yang baru ini. Walau miskin pengalaman, hajatan nasional 1955 itu sukses besar. Di sanjung para petinggi dunia.

Sesungguhnya pemilihan umum ini sudah direncanakan sejak dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pada 5 Oktober 1945 pemerintah mengumumkan tentang rencana pelaksanaan Pemilu, dan pada 1946 Pemilu sempat diselenggarakan di Karesidenan Kediri dan Surakarta.

Agresi militer Belanda, iklim politik yang panas dingin  pada masa revolusi dan penyelesaian terhadap agresi militer Belanda yang bertele-tele menyebabkan pemilu terus tertunda. Perhatian para pemimpin republik terfokus pada menyelesaikan sengketa dengan Belanda di meja perundingan.

Menyusul hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia menjadi negara yang berdaulat sepenuhnya. Bentuk federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menjadi salah satu kesepakatan KMB tidak berumur panjang. Negara-negara federal bikinan Belanda pada akhirnya mau tak mau mengikuti kehendak umum  kelompok nasionalis. Maka  meleburkan Negara-negara federasi itu ke dalam negara kesatuan.

Sejak 1950 berbagai kabinet yang silih berganti memerintah gagal memenuhi janjinya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pertikaian militer versus sipil pada peristiwa 17 Oktober 1952 menmbuat situasi politik dalam negeri terus mendidih. Kabinet koalisi PNI-Masjumi-PSI yang dipimpin Wilopo sebetulnya sudah goyah dengan berbagai persoalan politik yang terjadi baik di dalam maupun di luar parlemen. Tuntutan pembubaran parlemen oleh sekelompok militer dalam peristiwa 17 Oktober 1952 yang kemudian ditolak oleh Presiden Soekarno, perlahan beralih menjadi isu penyelenggaraan pemilu.

Pada November 1952 Kabinet Wilopo mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Dia mendapat sokongan dari beberapa kalangan, termasuk mereka yang terkenal vokal dan aktif secara politis. Undang-undang pemilihan umum ini meniru apa yang telah dilakukan di India pada 1951-1952. Sistem perwakilan proporsional diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464 pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara.

Kabinet Wilopo berakhir dan digantikan oleh Ali Sastroamidjojo. Namun belum lagi Pemilu diselenggarakan, krisis politik mendera Kabinet Ali Sastroamidjojo yang membuatnya terpental jatuh. Kabinet Ali Sastroamidjojo digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masjumi. Pemilu baru berhasil diselenggarakan di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap.

Menurut George McTurnan Kahin, pemilu 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan.

Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Di banyak pedesaan petugas pemilihan umum dipercayakan kepada panitia-panitia yang malahan sama sekali tak bisa membaca.

Dalam waktu-waktu terakhir menjelang pelaksanaan Pemilu, panitia disibukkan dengan pelatihan pemungutan suara di seluruh wilayah pemilihan. Penduduk juga diajak terlibat aktif di dalam persiapan kegiatan pemilu. Mereka diperkenalkan dengan tanda gambar dan cara menyoblos kertas suara.

Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.

Dengan berbagai macam problem yang merintangi, pemilu berhasil diselenggarakan. PNI keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 8.434.653 suara untuk Parlemen dan 9.070.218 untuk Konstituante. Kemenangan PNI disusul oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama dan PKI. Sementara itu PSI sebagai partai yang populer di lingkungan intelektual, harus puas berada di posisi ke-8 dengan perolehan suara 753.191 untuk Parlemen dan 544.803 untuk Konstituante.

Penyelenggaraan Pemilu 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.

Pada 26 Maret 1956, sebagai hasil dari Pemilu, dibentuklah Parlemen yang kemudian diikuti pembentukan Konstituante pada 10 November. Parlemen baru itu terdiri dari wakil-wakil 28 partai peserta Pemilu, organisasi dan perkumpulan pemilih yang dibagi ke dalam 17 fraksi atau kelompok parlemen.  Harapan pembaruan wajah parlemen terpenuhi dengan tampilnya politisi-politisi baru yang sebelumnya tidak pernah duduk di Parlemen lama.

Kesuksesan menyelenggarakan Pemilu yang jujur dan adil, terlebih di saat negeri ini baru saja merdeka dan sebagian besar panitia penyelenggaranya buta huruf, dianggap sebagai pencapaian besar bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.
 
Sumber: antara, serbasejarah
 
 

Copyright © 2014 KomitePolitikAlternatif Designed by Templateism.com IT CREATIVE MFiles

Theme images by konradlew. Powered by Blogger.