TERKINI

Catatan Catatan Terserak Kritik Terhadap Militerisme

Militerisme di Indonesia


Judul asli: Diskusi Dengan George J. Aditjondro

Artikel ini diterbitkan kembali untuk pendidikan

Salam Demokrasi,
Bung George yang baik, setelah membaca tulisannya, saya tertarik memberikan beberapa tanggapan. Tanggapan ini, saya maksudkan sebagai pembuka diskusi kita. Oh ya, perlu saya perkenalkan diri : nama saya Coen Husain Pontoh, yang dulu sempat nginap bersama Dita di Rutan Medaeng, Sidoarjo, Jatim, dan sekarang ini menjadi staf Dept. Pendidikan dan Propaganda KPP-PRD.

Bung George, sejak awal kami memang sudah menduga bahwa para oposisi borjuis seperti, Megawati, Gus Dur, dan Amien Rais, tidak bisa diharapkan terlalu banyak untuk membawa kereta reformasi ini pada penuntasannya secara total. Dan, seperti yang sudah Bung beberkan, mereka tidak memiliki program reformasi total yang dituntut oleh gerakan rakyat yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa, bahkan dalam prakteknya, mereka memoderasi dan mendemoralisasi gerakan mahasiswa.

Tidak adanya sejarah perlawanan yang gigih dan konsisten terhadap rezim orba, juga menyebabkan mereka jatuh dalam praktek politik yang oportunis dan plin-plan. Lihat saja koalisi yang coba mereka bangun sekarang ini. Benar-benar memuakkan. Yang dipikirkan dan diperdebatkan, hanyalah bagaimana membagi-bagi kekuasaan, bagaimana supaya tidak terjadi deadlock. Prinsip-prinsip dasar berkoalisi, seperti kesamaan program dan strategi-taktik, sama sekali tidak diindahkan. Pertanyaannya, mengapa mereka menjadi kebingungan dan sepertinya tidak punya alternatif yang lain?

Menurut Andi Arief, hal itu disebabkan oleh dua hal: pertama, karena mereka memang tidak terlibat dalam proses penumbangan rezim lama. Mereka sama sekali tidak mengerti, tidak memahami dan tidak menghayati denyut nadi gerakan rakyat, yang naik-turun, maju-mundur dan timbul-tenggelam dalam melawan kediktatoran rezim Orba. Karena mereka tidak terlibat, maka mereka tidak kaya dengan taktik-strategi gerakan. Kedua, karena mereka tidak terlibat dalam proses penumbangan itu, maka mereka tidak memiliki konsep dan strategi-taktik pembangunan rezim baru, sehingga tidak heran jika mereka tergagap-gagap dan kebingungan dalam merespon perkembangan kondisi obyektif yang terus maju. Dalam tahapan ini, jelas mereka kalah dalam berhadapan dengan tentara yang telah terlatih dalam merubah wujudnya setiap saat.

Tetapi, ada hal lain yang lebih strategis untuk menjelaskan, mengapa mereka menjadi oportunis ketimbang oposan yang kritis, seperti yang bung katakan. Yakni, sesungguhnya kelemahan mereka, para oposisi borjuis ini, berakar pada sejarah borjuasi Indonesia sendiri. Seperti kita ketahui, kapitalisme yang melahirkan borjuasi di Indonesia, tidak melalaui tahapan revolusi demokratik (revolusi borjuis) yang berhasil menumbangkan feudalisme. Kapitalisme di Indonesia berkembang karena dicangkokkan oleh penjajahan, terutama penjajah Belanda. Dengan demikian, formasi sosial-ekonomi lama, feudalisme, tetap bercokol karena tidak dihancurkan secara bersih, bahkan hubungan sosial dan budaya feudal tetap dikembangkan. Kapitalis yang dominan waktu itu, adalah kapitalis Belanda, kemudian disusul oleh kapitalis Asing Asia. Baru setelah Indonesia merdeka, para kapitalis Belanda disuir, perusahaannya dinasionalisasi dan dikuasai oleh tentara.

Sejak saat itu, borjuasi nasional mulai berkembang. Karena, tentara berhasil menguasai perusahaan-perusahaan Belanda, maka komposisi borjuasi nasional terbelah dua, yakni antara kapitalis bersenjata dan kapitalis tidak bersenjata (kapitalis sipil).

Kompetisi adalah urat nadi kapitalisme. Dengan persaingan, kapitalisme semakin kuat, lentur dan tahan banting. Tetapi, persaingan juga menyebabkan perseturuan dan permusuhan di antara masing-masing kapitalis, siapa kuat dia menang. Dalam konteks kita, perseteruan dan permusuhan itupun terjadi, yakni antara faksi kapitalis bersenjata dengan faksi kapitalis non-bersenjata.

Seperti yang kita ketahui bersama, kemenangan berpihak pada faksi kapitalis bersenjata, terutama setelah masa orba mereka berhasil menguasai lebih dari 200 perusahaan strategis yang bergerak di darat, laut, maupun udara. Sementara, faksi kapitalis non-bersenjata dipotong habis basis-basis ekonominya. Kalau toh, saat ini kita melihat munculnya para kapitalis tidak bersenjata, sesungguhnya hal itu tidak menunjukkan kebangkitan kekuatan mereka, karena yang bermunculan ini merupakan hasil KKN dengan faksi kapitalis bersenjata.

Dengan formasi yang demikian, maka faksi kapitalis non-bersenjata memiliki ketergantungan yang besar terhadap faksi kapitalis bersenjata. Ketergantungan itu tidak saja terhadap kemudahan-kemudahan yang dapat mereka peroleh tetapi juga, ketika mereka harus menghadapi gerakan buruh yang semakin lama semakin terpimpin perlawanannya. Ketergantungan ini menyebabkan kedudukan mereka sangat lemah dihadapan faksi kapitalis bersenjata. Dan inilah yang menyebabkan borjuasi nasional dari faksi kapitalis bersenjata tidak mampu mendesakkan dan meninggikan program-program politik mereka terhadap faksi kapitalis bersenjata.

Bung George, saya masih melihat bahwa perseteruan saat ini masih antara faksi kapitalis bersenjata dengan yang tidak bersenjata. Namun, faksi kapitalis bersenjata posisi politiknya saat ini sedang jatuh di mata rakyat, sementara itu ditingkatan global, tuntutan agar kebebasan bergerak modal tidak dibatasi dan dihalang-halangi oleh negara semakin deras. Ekonomi harus dibebaskan dari politik. Dihadapkan pada dua kekuatan ini, faksi kapitalis bersenjata terpaksa harus melakukan konsesi-konsesi agar keberadaan mereka tidak semakin terpojok. Pemilu yang barusan terjadi, merupakan konsesi terbesar yang diberikan oleh faksi kapitalis bersenjata.

Ironisnya, faksi kapitalis non-bersenjata mendukung sepenuhnya konsesi ini. Mereka menggembar-gemborkan bahwa pemilu merupakan solusi terbaik dalam mengatasi krisis yang sangat parah ini dan karena itu mereka telah mengilusi kesadaran massa. Mereka telah memanipulasi dukungan rakyat yang begitu besar terhadapnya, dengan menggiring rakyat ke bilik-bilik pencoblosan suara. Mereka ternyata lebih suka berkompromi dan berkonsesi dengan faksi kapitalis bersenjata, ketimbang mendukung, memfasilitasi dan mewadahi gerakan massa yang tumpah-ruah di jalan-jalan Jakarta. Mereka lebih takut dengan gerakan radikal ketimbang tentara, karena pada dasarnya persaingannya hanyalah persaingan antar faksi di dalam sistem yang mereka sepakati bersama. Maka tidak heran, adalah wajar, jika Megawati, gus Dur dan Amien Rais, menjadi oportunis.

Rakyat Bersatu Cabut Dwifungsi ABRI
Coen.

——-

Tanggapan George J. Aditjondro
Kawan Coen Pontoh;

Betul-betul merupakan suatu penghormatan besar utk seorang pelarian politik seperti saya, mendapatkan tanggapan yang begitu serius dari seorang alumnus penjara Orde Baru seperti anda.

Saya setuju dengan hampir seluruh analisis anda. Satu saja hal yang ingin saya tambahkan, yang mungkin relevan bagi anda sebagai pemimpin Serikat Tani Nasional (maaf, kalau salah), yang sekarang kurang kedengaran gaungnya.

Analisis kawan-kawan PRD, terlalu kota dan buruh sentris. Sementara kritik saya terhadap Mega serta para tokoh oposisi borjuis lainnya, adalah karena agenda reformasi agraria sama sekali terlupakan atau tidak disinggung-singgung, di samping agenda reformasi kehidupan buruh manufaktur di kota-kota.

Itu sebabnya, gerakan reformasi kita juga agak pincang. Untuk tidak pincang, saya menyarankan ada gerakan serempak di kota dan di desa. Di kota, oleh PRD dan gerakan-gerakan buruh, sedangkan di desa, oleh kawan-kawan ornop yang tergabung dalam Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Agenda mereka, setahu saya, selain memperjuangkan prinsip tanah-untuk-penggarap di daerah-daerah dengan modus produksi peasantry, sekaligus memperjuangkan prinsip tanah — dan semua sumber daya alam lain, seperti hutan, bahan tambang, dan hasil laut — untuk mereka yang sudah turun temurun mengembangkan suatu modus produksi yang lebih bersifat sosialistis. Sistem itu saya sebut sosialisme marga (clan socialism), for the lack of another term.

Gerakan memobilisasi massa pedesaan berbarengan dengan massa kaum miskin kota, di mana kita sekarang menyaksikan proses radikalisasi yang ikut dipacu oleh Wardah Hafidz dkk dari UPC, memang mirip taktik desa mengepung kota a la Mao dan Lin Piao. Tapi inspirasi saya bukan dari situ, melainkan, dengan sedikit bekal antropologi, masuk ke luar hutan dan naik turun gunung di Nusantara, baik di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Tanah Papua, dan melihat tidak cuma kearifan ekologi tradisional, melainkan juga bentuk-bentuk sosialisme yang asli, yang tidak kapitalistik, tapi juga jauh dari sosialisme negara a la Uni Soviet almarhum.

Untuk memperjuangkan agenda reformasi agraria itu, sebaiknya kawan-kawan KPA juga mulai memikirkan membentuk suatu "partai hijau", yang bukan partai hijau borjuis, yang hanya memikirkan keselamatan orang utan, tapi juga memikirkan pengembangan sistem hutan kerakyatan a la LB Dingit dkknya di Kaltim.

Begitu saja tanggapan singkat saya saat ini.

Desa dan kota, bersatu menembus barikade para kapitalis birokrat!

Hidup LB Dingit! Musnahlah LB Murdani dan para pengikutnya!

Hidup sosialisme kerakyatan a la Nusantara!
George J. Aditjondro

———–
Salam Demokrasi,
Bung George yang baik, terima kasih atas balasan suratnya. Terus terang, saya menjadi lebih bersemangat untuk berdiskusi dengan bung.

Pada dasarnya saya setuju dengan apa yang bung katakan bahwa, harus ada gerakan yang serempak, terkoordinir dan simultan baik yang di kota maupun yang di desa untuk menjatuhkan rezim militer-kapitalis ini. Bahkan tidak itu saja, kami pun menawarkan bahwa koalisi itu bukan saja bermakna teritorial melainkan juga harus bermakna sektoral dan lintas klas. Jadi, tidak benar jika, PRD analisisnya terlalu kota dan buruh sentris. Tetapi, pada prakteknya, koalisi yang demikian itu sangat susah untuk dibangun. Tidak terlalu jelas apa yang menyebabkannya.

Ambillah contoh gerakan mahasiswa. Seharusnya, koalisi atau pun aliansi di antara mereka (Forkot, Famred, Komrad, KBUI dan FKSMJ, mis.) lebih mudah dilakukan, mengingat mereka tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam hal program, mereka semua menuntut cabut dwifungsi ABRI, adili Soeharto dan tidak mengakui pemerintahan Habibie. Juga dalam hal metode gerakan, mereka sama-sama menggunakan taktik gerakan massa untuk menjebolkan program dan tuntutannya. Perbedaan hanya terjadi pada saat menghadapi represi tentara, bahwa Famred kalau digebuk akan mundur, sebaliknya Forkot akan melakukan perlawanan. Itu saja.

Bung George tentu masih ingat, betapa sulitnya membangun koalisi ataupun komite aksi bersama di kalangan student dulu, karena tidak adanya kesamaan program dan metode gerakan ini. Kita hampir frustasi dulu ketika menghadapi hal seperti ini. Nah, ketika program dan metode gerakan sudah sama, logikanya, koalisi lebih mudah dibangun. Tapi apa lacur, hingga saat ini gerakan mahasiswa itu masih terserak-serak, sektarian dan cenderung arogan satu sama lain. Perbedaannya bukan lagi pada hal yang prinsip, tetapi pada hal-hal yang sifatnya subyektif.

Jika diantara sesama student demikian susah untuk berkoalisi, bisa dibayangkan bagaimana mereka harus berkoalisi dengan sektor lain? Sekarang ini saja, kecenderungan anti partai di kalangan mahasiswa masih begitu kental, tanpa ada satu penjelasan yang ilmiah mengapa mereka demikian alergi terhadap partai politik. Setahu saya, alasan yang dikemukakan sangat klasik, bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral yang berjuang tanpa pamrih. Hal ini belum menyangkut persoalan klas lho? Saya yakin, jika sudah menyentuh persoalan klas, koalisi akan semakin sulit dibangun.

Demikian juga dengan kawan-kawan di LSM. Ada satu trend yang berkembang di kalangan LSM Indonesia akhir-akhir ini, yakni berkembangnya istilah non-partisan. LSM mencoba memposisikan dirinya dengan partai politik lewat terminologi yang abstrak ini, bahwa mereka (LSM) adalah gerakan non-partisan dan parpol adalah gerakan partisan. Akibatnya, kawan2 LSM cenderung menjaga jarak dengan parpol. Saya sungguh heran dengan kecenderungan yang terjadi dikalangan LSM ini, dalam pikiran saya dikotomi-dikotomi seperti itu harus dicairkan agar supaya reformasi total bisa dengan lebih mudah dituntaskan. Dengan menjaga jarak terhadap parpol, maka kekuatan kaum reformis menjadi melemah, sementara sisa-sisa rezim lama semakin mengkonsolidasikan kekuatannya kembali. Fakta yang terjadi belakangan ini adalah pembuktiannya.

Jadi, jika melihat fakta-fakta ini agaknya kita masih harus bekerja lebih keras lagi dan lebih sabar lagi untuk bisa menseragamkan sebuah operasi penyerangan yang total terhadap rezim militer kapitalis ini. Yang pasti yang harus kita jawab lebih dahulu adalah, "MENGAPA KOALISI DI NEGERI KITA BEGITU SULIT UNTUK DILAKUKAN? Apakah karena masih berkembangnya budaya feudal, ataukah ini karena persoalan belum tuntasnya teori/ideologi sehingga menyebabkan tumpang tindihnya keharusan untuk menjawab tuntutan kondisi obyektif dan ketidaksiapan kondisi subyektif, ataukah karena refleksi dari praktek kekerasan politik yang ditanamkan selama lebih dari 32 tahun sehingga menyebabkan satu sama lain saling mencurigai? Saya mohon tanggapan bung George untuk hal ini.

Rakyat Bersatu Cabut Dwifungsi ABRI!
Coen.

Copyright © 2014 KomitePolitikAlternatif Designed by Templateism.com IT CREATIVE MFiles

Theme images by konradlew. Powered by Blogger.