TERKINI

Pemilu Sebentar Lagi


Cerita pendek (cerpen)
Pemilu masih satu tahun lagi. Gemuruhnya telah dimulai dari sekarang. Setelah KPU memutuskan partai-partai peserta pemilu, bendera-bendera partai mulai menghiasi jalan-jalan. Ada saja, acara yang digelar, agar sah-lah bendera berkibar.

Proses pencalonan legislatif berlangsung melalui mekanisme internal setiap partai. Ketidakpuasan atas daftar caleg, tidak semata dipendam dalam hati. Protes, diiringi para pendukungnya, cenderung berakhir dengan pengrusakan. Tidak peduli tokoh-tokoh besar ada di dalam partai tersebut. Persoalan internal yang bisa mengancam dan menghantam dirinya sendiri.

”Tidak ah, gak tertarik. Biar berada di luar saja, menjadi manusia merdeka. Masih senang bermain lumpur, membuat pupuk, dan mengembangkan usaha bersama,” kata Martir yang masih terus setia berproses mengembangkan kelompok-kelompok petani, saat ditanya di pinggiran sawah, saat panen raya di suatu desa.

”Mahal Bro…. Gak punya modal, sponsor juga gak ada. Jika ada pun, gak mau ah. Malah susah jadi pejabat negara di masa sekarang ini. Kemana-mana terintai kamera. Ya, sadar dirilah, aku bukan orang bersih. Setidaknya masih senang kelayapan ke cafe-cafe,” Jontor sang penjelajah malam sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, lalu menyemburkan ke atas, dan menikmati asap yang bermain berputar, berpencaran. Meraih gelas dan menenggak bir yang masih tinggal separo. Suara musik berdentam. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya.

”Enakan jadi penggembira saja deh. Siapa berani bayar mahal, ikutlah aku kampanye untuk orang atau partai itu. Siapapun yang menang, gak ada perubahan dalam hidupku. Semua omong kosong. Lebih baik kita manfaatkan sebaik mungkin, mumpung mereka lagi murah bagi-bagi rejeki. Ya, lima tahun sekali, hidup sedikit royal kan gak ada salahnya,” Jembrong di sela memberikan aba-aba kepada mobil yang keluar dari parkiran.

***

Pesta lima tahunan. Lekat dalam ingatan. Iringan kendaraan bermotor dengan knalpot blombongan yang memekakkah telinga. Raja jalanan, yang memaksa kita harus menyingkir agar tidak menjadi korban kebrutalan.

”Rakyat” adalah istilah yang menjadi istimewa. Digemakan secara terus menerus dengan berjuta janji manis yang mempesona. Kendati sudah dapat diduga bukan lagi menjadi harapan, bahkan sebagai mimpi-pun terpupus. Saat kekuasaan tergenggam, satu persatu akhirnya bergelimpangan, terseret kasus penyalahgunaan wewenang. Kita semua tahu, baru sebagian kecil saja, sudah menghiruk-pikukkan media. Lainnya, seakan masih menjadi rahasia dengan harapan semoga saling buka borok.

Lah, artinya? Semua pemegang kekuasaan sama-sama bobrok, merampok uang negara, merampok jatah rakyat, merampok kehidupan jutaan jiwa, untuk dirinya, untuk kelompoknya, lalu saling menyandera, agar semua tak terbuka. Tahu begini, lantas mengapa pilihan tetap saja kepada mereka?

”Politik itu adalah uang. Menjadi politisi tanpa uang, hanya akan berkubang lumpuran. Politisi bak pedagang,”

”Artinya, mengeluarkan uang sedikit mungkin meraih keuntungan sebesar-besarnya? Mengeluarkan 1 milyar meraup ratusan milyar? Kasihan sekali nasib bangsa dan negara ini,”

”Dari dulu juga sudah begitu. Bedanya, sekarang semua bisa saling berebutan membangun, merebut dan mempertahankan kekuasaannya. Tidak ada penguasa tunggal yang ditakuti,”

***

”Sungguh, kalian jangan meremehkan para artis. Ini merupakan panggilan agar kami dapat menyumbangkan hidup kami untuk mengabdi kepada negeri ini. Kalian juga bangga kan kalau di gedung parlemen, wajah-wajah cantik dan ganteng yang menghiasi ruangan. Menyaksikan sidang-sidang, tentu tidak akan menjemukan,” seorang artis muda sambil mengerlingkan matanya ke arah kamera.

”Ya, agar bisa bermanfaat untuk hal yang lebih luas,” seorang dai terkenal menjawab singkat, hadir dalam pemberitaan Infotainment.

”Ini saatnya berbakti,” seorang konglomerat bersama artis sinetron yang tengah naik daun bergegas menghindari kamera di sebuah pesta.

***

Pemilu sebentar lagi. Orang-orang mengambil posisinya masing-masing. Berebutan kesempatan atau memilih untuk tidak peduli.

Hidup masih berjalan seperti biasanya. Pemberitaan masih dihiasi kisah-kisah mengerikan tentang kriminalitas yang semakin menjadi. Anak-anak sekolah yang terus kebingungan dengan ajaran yang diterimanya sangat jauh berbeda dengan realitas yang dihadapinya. Kebuasan nilai-nilai keluarga yang diporak-porandakan melalui sinetron-sinetron yang merajai tayangan televisi. Gosip-gosip tak kalah meriah, hadir seputar perselingkuhan, perceraian, dan pertobatan.

Di sisi lain, para nelayan, petani, kaum miskin kota, berjuang keras mempertahankan hidup dan kelangsungan diri dan keluarganya ketika keberuntungan selalu saja menjauh dari mereka.

Pemilu sebentar lagi. Ya, sebentar lagi.

Seorang pemuda di persimpangan jalan membacakan puisi:

PEMILU

kembang tujuh rupa
air tujuh sumber
bau menyan
ada keris, ada akik,
besi kuning, tombak, lulang babi
gigi harimau, mahkota,
rajah berbalut kain putih
kungkum di pertemuan antar sungai
kitari makam para leluhur

ada rapat, ada lobi, ada negosiasi,
ada perempuan, ada uang beterbangan,
bau alkohol, bau muntah, bau sperma,
hotel, cafe, lokalisasi dan rumah bordil tersembunyi
tidak ada tuan, tidak ada babu, tidak ada preman
tidak ada penguasa, tidak ada rakyat jelata, tidak ada pengusaha,
saling tersenyum, saling menyeringai,
berbagai barisan terbentuk, senjata teracung

Langit berubah-ubah wajah,
Peti-peti harta karun, katanya siap terbuka
Uang merah, uang brazil, uang dollar
Emas dalam brankas-brankas bank, dalam goa-goa,
dan ruang-ruang bawah tanah
rekening Amerika, Swedia, Belanda, Swiss
biaya operasional, management fee, komisi,
peluru-peluru beterbangan
nyata dan tidak nyata
satelit-satelit mengintai

Sssttttttttt….
Indonesia pemilu sebentar lagi…!
(hati-hati, jangan sampai tertipu) 
Karya oleh: Odi Shalahuddin
Diterbitkan ulang untuk pendidikan dari Cerpen Odi Shalahuddin
Fiksi Ocehan, Yogyakarta, 3 Mei 2013, Pernah diposting di Kompasiana

Copyright © 2014 KomitePolitikAlternatif Designed by Templateism.com IT CREATIVE MFiles

Theme images by konradlew. Powered by Blogger.