Dikutip dari Arah Juang untuk pendidikan
Setelah menggulingkan Presiden Chile, Salvador Allende yang terpilih secara demokratis, pada tahun 1979, Augusto Pinochet membantai ribuan rakyat Chili. Kemudian menerapkan kebijakan Neoliberal seperti yang berlangsung di Indonesia. Beberapa dasawarsa kemudian, tepatnya tahun 2005, laporan Senat AS menyatakan bahwa Pinochet memiliki setidaknya 125 rekening bank asing rahasia dibawah namanya dan banyak anggota keluarganya. Yang paling besar nilainya disimpan di Riggs Bank, di Washington DC senilai 27 juta USD.
Sementara itu pada tahun 1984, Jose Martinez de Hoz, arsitek ekonomi dari Junta Militer Argentina yang berkuasa pada tahun 70an ditangkap atas tuduhan kolusi yang terkait dengan subsidi besar-besaran terhadap salah satu perusahaan yang dimilikinya. Bank Dunia kemudian menyatakan bahwa 19 miliar USD dari total 35 miliar USD pinjaman luar negeri yang diberikan kepada junta militer telah dipindahkan ke rekening luar negeri.
Demikian sesaat setelah Soeharto digulingkan pada Mei 1998, Bank Dunia mengeluarkan laporannya bahwa hampir 30 persen dari hutang luar negeri Indonesia atau sekitar 10 miliar USD dikorupsi oleh Soeharto dan kroni-kroninya. Kemudian muncul berbagai macam dugaan korupsi, yang dielaborasi sangat bagus dalam buku berjudul Harta Jarahan Harto karya George Aditjondro. Kesemuanya hingga kini tidak ada pertanggung jawabannya dan lenyap, apalagi sang diktaktor sudah mati.
Namun jangan diambil kesimpulan bahwa korupsi hanya terjadi di Negara-negara Dunia Ketiga atau Negara-negara dibawah Rejim Militer. Dinegara-negara Imperialis dan Kapitalis Utama pun korupsi terjadi. Seperti kasus seorang anggota Parlemen Australia bernama Eddie Obeid yang sekarang diselidiki atas dugaan korupsi terkait dengan kepentingan perusahaan pertambangan dan properti.
Sekarang penelitian Bank Dunia menyatakan bahwa nilai semua suap dan korupsi yang terjadi diseluruh dunia pada tahun 2003 adalah sekitar satu triliun USD. Beberapa ahli menyatakan bahwa angka tersebut terlalu merendahkan. Namun data itu sendiri sudah menunjukan bagaimana meluasnya korupsi diseluruh dunia.
Persoalan korupsi berhubungan erat dengan persoalan siapa yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi. Sejatinya korupsi muncul ketika kekuasaan politik untuk mengontrol kekayaan ekonomi berada ditangan segelintir orang. Sementara rakyat mayoritas tanpa kekuasaan politik dan ekonomi apapun. Begitulah sejak masyarakat terbagi menjadi klas-klas, dimana satu klas minoritas memiliki seluruh kekuatan politik untuk mengontrol seluruh kekayaan ekonomi maka menjadi mungkin bagi klas minoritas tersebut untuk memperkaya dirinya.
Berdasarkan definisi yang diberikan Transparansi International korupsi atau rasuah adalah tindakan pejabat publik baik politisi maupun pegawai negeri serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Maka berdasarkan atas definisi itu pada akarnya Sistem Kapitalisme Neoliberalisme dimana kita hidup adalah sistem yang korup. Sebuah sistem dimana para pemilik modal dengan pendukungnya: para elit politik serta jendral-jendral korup mencuri hasil kerja kaum buruh untuk keuntungan sepihak mereka.
Dengan begitu maka ada korupsi legal yang terjadi, apa itu korupsi legal? Para pemilik modal mencuri hasil kerja kaum buruh dengan upah murah ataupun sistem kerja kontrak dan outsourcing. Atau tindakan para elit politik menjual aset-aset strategis kepada para pemilik modal untuk kekayaan para pemilik modal, sementara kaum buruh dan rakyat dihadapkan dengan pencabutan subsidi serta kenaikan harga-harga. Begitu legalnya proses korupsi tersebut hingga Negara para pemilik modal ini melindungi tindakan korup tersebut dengan polisi, tentara dan penjara. Yang dilegalkan dengan berbagai produk hukum untuk memukul perlawanan rakyat seperti Inpres Kamnas, RUU Ormas, RUU Kamnas, bahkan terakhir MoU Menteri Tenaga Kerja dengan BIN. Diluar itu tentunya terdapat korupsi yang illegal yaitu korupsi Hambalang, Bank Century, Simulator SIM, Daging Sapi, dsb, dsb.
Perlawanan terhadap korupsi telah menjadi isu yang lama diperjuangkan oleh rakyat Indonesia. Demikian respon pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Negara Pemilik Modal dari dahulu dibawah bentuk Rejim Militer hingga sekarang didalam Demokrasi Liberal tidaklah jauh berbeda.
Gerakan mahasiswa yang memuncak pada tahun 1974 salah satunya juga mengusung isu Ganyang Korupsi. Korupsi yang terjadi bersamaan dengan boom minyak dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dibawah Rejim Militer. Respon terhadapnya adalah dengan membentuk badan-badan khusus yang seolah-olah independen dan memiliki kekuasaan besar. Pada tahun 1970 dibentuklah Komisi Empat Anti Korupsi yang tidak menghasilkan apapun. Kemudian digodoklah Rancangan Undang-Undang Anti Korupsi. Pada saat muncul protes terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada tahun 1973 terkait pendanaan oleh Negara dan adanya sumbangan wajib maka dibentuk pula sebuah Komisi Penyelidik oleh DPR.
Sekarang ketika Demokrasi Liberal memaksa agar terdapat keterbukaan dalam kerangka Borjuis maka semakin vulgar terlihat korupsi dimata rakyat Indonesia. Sejak tahun 2005 sampai sekarang saja, BPK telah menemukan sedikitnya Rp 103 Triliun uang negara yang dikorupsi, dan hanya sebagian kecilnya saja yang ditindaklanjuti ke pengadilan. Tentu saja ini nilai yang paling konservatif.
Menurut Survey dari Soegeng Sarjadi Syndicate lima lembaga terkorup di Indonesia berturut-turut adalah: DPR RI, Kantor Pajak, Kepolisian, Partai politik dan Kejaksaan Agung. Sebelumnya, akhir September 2012 lalu, pihak Sekretariat Negara mengungkapkan bahwa banyak Koruptor Pejabat Negara berasal dari partai-partai yang ada saat ini, dengan urutan: Partai Golkar 64 orang (36,36 persen), PDIP 32 orang (18,18 persen), Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen), dan seterusnya, dimana partai-partai besar menunjukkan peringkat teratas, dan TIDAK SATUPUN PARTAI yang ada di parlemen lolos dari korupsi. Jumlah ini belum memasukkan koruptor-koruptor yang baru saja ditahan dan dijadikan tersangka oleh KPK. Diluar yang ditangkap KPK (karena KPK hanya menangkap koruptor yang mengkorupsi uang rakyat diatas 1 milyar atau boleh ratusan juta asal tertangkap tangan), ada 70% penguasa/kepala daerah (bupati/walikota) yang terlibat dalam korupsi.
Hal tersebut menunjukan bagaimana hancurnya seluruh instrument politik dan ekonomi dari Negara Pemilik Modal di Indonesia. Demikian hancurnya kepercayaan terhadap partai-partai besar sekarang semakin jelas. Ketika bahkan Presiden Partai yang memiliki slogan bersih yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfi Hasan ditetapkan oleh KPK menjadi tersangka korupsi impor daging.
Berbagai cara telah dilakukan oleh Rejim Pemilik Modal ini untuk memberantas korupsi. Dari dahulu pada Rejim Soeharto hingga kini berbagai macam lembaga independen dibentuk. Dahulu dibentuk Komisi Empat Anti Korupsi sekarang dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau pun kemudian ada koruptor yang dihukum maka persoalan tebang pilih mana koruptor yang ditangkap, hukuman yang rendah, tidak adanya penyitaan terhadap hasil-hasil korupsi hingga hak istimewa yang masih didapatkan koruptor didalam penjara terus saja terjadi.
Negara Pemilik Modal ini tidak pernah berani sepenuhnya memberantas korupsi. Bahkan isu korupsi dijadikan alat untuk posisi tawar politik ataupun menggalang dukungan. Ketika Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Maka Anas mengancam akan membuka korupsi yang dilakukan oleh pihak istana (SBY). Ironisnya baik Demokrat maupun PKS adalah partai yang paling menggembar-gemborkan ‘moral/kesantunan politik’ serta mengkampanyekan diri sebagai anti-korupsi.
Satu-satunya yang memiliki kemampuan untuk memberantas korupsi sepenuhnya adalah gerakan rakyat itu sendiri. Gerakan yang dahulu sempat membesar dengan munculnya gerakan Cicak Buaya. Gerakan ini tidak bisa berkembang lebih jauh dari sebuah gerakan tekanan politik. Karena kemudian posisi yang diambil memang hanya memberikan dukungan kepada KPK dalam pemberantasan korupsi. Belum kemudian mengambil posisi tindakan langsung dari rakyat dalam pemberantasan korupsi. Demikian juga terlepas dari perjuangan atas kekuasaan politik bagi rakyat itu sendiri.
Yang paling utama dalam pemberantasan korupsi adalah dengan meluaskan kekuasaan politik kaum buruh dan rakyat itu sendiri untuk mengatur kekayaan ekonomi. Dengan begitu maka tidak ada individu atau pun segelintir orang yang memiliki kekuasaan politik ataupun hak istimewa untuk mengontrol seluruh kekayaan ekonomi yang dihasilkan oleh kaum buruh dan rakyat.
Hal ini dilakukan dengan dua tindakan yaitu pertama, melucuti semua pejabat publik dari hak istimewanya. Termasuk juga dalam hal pendapatan, memotongnya hingga setara dengan upah buruh. Menempatkan mereka sepenuhnya ditangan rakyat yaitu dengan memberikan hak recall secara langsung oleh rakyat terhadap semua pejabat publik dari tingkat nasional hingga tingkat paling rendah.
Kedua itu harus dibarengi dengan memberikan kekuasaan politik semakin besar kepada kaum buruh dan rakyat. Yaitu dengan keterlibatan rakyat melalui Organisasi atau Dewan-dewan Rakyat dalam proses perencanaan, pembuatan, pelaksanaan serta pengawasan program Negara dari tingkat nasional hingga tingkat paling rendah.
Disisi hukum maka hukuman terhadap korupsi harus diperkuat. Dimana seluruh aset koruptor serta keluarganya harus disita. Metode pembuktian terbalik diwajibkan dalam semua kasus korupsi dan penyuapan. Demikian juga hukuman yang lebih berat diberikan kepada Pejabat Publik dan Pengusaha pelaku korupsi.
Oleh : Ignatius Mahendra Kusumawardhana, Anggota KPO-PRP.