Sekurang-kurangnya lebih dari 2,5 Juta manusia menjadi korban kekejaman militerisme sejak 1965 – sekarang. Apakah itu kasus pembantaian pendukung Soekarno dan PKI, tragedi Blitar Selatan, Tanjung Priuk, Talangsari, Kedung Ombo, 27 Juli 1996, Trisaksi, Kerusuhan Mei 98, Banyuwangi, Semanggi I dan II, Penculikan Aktifis, Ambon, Timor Leste, Aceh, Poso, hingga Papua. Atau kasus-kasus yang baru-baru terjadi seperti Urut Sewu di Kebumen, Mesuji di Lampung, atau kasus pembunuhan oleh Kopassus di Yogyakarta.
Militerisme di negeri ini sudah memperlihatkan karakteristiknya sebagai bahaya laten. Meskipun kekuatan gerakan mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998-1999 berhasil menggulingkan “The Smiling Jendral” Soeharto dan memukul mundur TNI. Namun upaya militerisme untuk kembali bangkit terus dilakukan dengan segala cara. Apalagi rakyat Indonesia mudah lupa. Lupa atas berbagai kasus-kasus kekerasan (pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, dsb) yang menimpa rakyat.
Sebagai isme, militerisme tak hanya menjangkiti aparat militer. Namun juga, tak jarang, melibatkan para tokoh-tokoh politik sipil pendukung Orde Baru, bahkan, orde reformasi, yang masih meyakini untuk bersandar dan mengunakan kekuatan militeristik dalam menerapkan kebijakan ekonomi, politik dan pertahanan. Atas dasar ini, peluang-peluang militerisme untuk berkuasa kembali tidak lah mustahil, dan semakin besar apabila kita acuh terhadap upaya sistematis kekuatan lama, Sisa Orde Baru dan Militerisme membelokkan sejarah, mencuci segala dosa-dosa politiknya, agar bisa kembali berkuasa.
Dalam pemilu 2004 – 2014, misalnya, mantan-mantan petinggi militer yang memiliki kasus kelam di masa lalu dengan mudahnya mendirikan partai. Susilo Bambang Yudhoyono mendirikan Partai Demokrat. Dan rakyat tak menyadari bahwa SBY merupakan salah satu dalang di balik kasus 277 Juli 1996 bersama Suharto dan tak luput Sutiyoso, yang juga mendirikan PKPI. Sutiyoso bahkan ketika menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta selama 2 periode melakukan cara-cara militeristik dalam menghadapi demonstran dan rakyat miskin yang digusuri. Jendral Wiranto juga mendirikan Partai Hanura. Wiranto juga terlibat kasus pelanggaran HAM termasuk kasus Mei 1998 dan sesudahnya.
Dan yang lebih berbahaya dari semua itu adalah mantan Letnan Jendral Prabowo. Dengan sokongan besar dari adiknya yang pengusaha besar itu, Prabowo dengan mudahnya mendirikan Partai Gerindra. Dan pada pemilu sebelumnya Gerindra mendapatkan lebih dari 4% suara. Pada pemilu kali ini, baik Prabowo, Wiranto, dan Sutiyoso mencalonkan diri sebagai presiden. Mereka terlibat kasus-kasus besar pelanggaran HAM, namun yang miris, di negeri ini, para pelanggar HAM gampang mendirikan Partai dan mencalonkan diri sebagai Calon Presiden. Ironis!
Memang Ironis. Apalagi, sudah hampir 16 tahun paska momentum penting dalam sejarah negeri ini, Reformasi. Namun, salah satu cita-cita reformasi agar Indonesia bebas dari kekerasan militeristik nampaknya belum rampung. Justru sebaliknya, para pelaku, melenggang ke tampuk kekuasaan dengan memanfaatkan mekanisme demokratis: Pemilu, tanpa hambatan dan halangan.
Di sisi lain, regulasi yang menghambat demokrasi banyak yang sudah di sahkan, beberapa sedang berjalan, misalnya: Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, Undang-Undang Intelijen, Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Ormas, RUU Keamanan Nasional, RUU KUHP. Esensi dari adanya regulasi tersebut adalah satu, yakni: Stabilisasi Politik.
Dan pandangan stabilisasi politik dalam sejarahnya tak bisa dilepaskan dengan peran penting aparatus kekerasan bernama: TNI/POLRI.
Atas dasar itu lah, maka, sangat penting kembali untuk mengkampanyekan Platform anti/lawan militerisme. Agar rakyat kembali sadar bertapa berbahayanya militerisme dalam mengancam kebebasan, kemerdekaan dan kesempatan untuk sejahtera Platform anti/lawan militerisme di kampanyekan agar rakyat tak lupa pada sejarah. Platform anti/lawan militerisme ini juga untuk mensadarkan kaum pergerakan, bahwa militerisme belum di pukul habis, belum tuntas, bahkan perlahan dan pasti mulai menapaki kembali ke kekuasaan.
Dalam momentum pemilu 2014 ini, apapun organisasimu, apapun benderamu, apapun posisimu terhadap pemilu 2014, kami mengajak kawan-kawan untuk terilibat mengkampanyekan kembali Platform Anti/Lawan Militerisme dengan bentuk Aksi Bersama: Indonesia Tanpa Militerisme.
Aksi Bersama: Indonesia Tanpa Militerisme akan di selenggarakan pada:
Hari: Selasa, 08 April 2014
Bentuk Aksi: Aksi Damai dan Mimbar Bebas
Titik: Bunderan Hotel Indonesia
Pukul: 14:30 – 17:30
Demikian, mari sukeskan aksi bersama: Indonesia Tanpa Militerisme!
Pengundang dan Contact Person:
1. Surya Anta: 081574304391
2. Arie Lamondjong: 089674419149
Peringatan:
- Untuk menghargai persamaan dan perbedaan, diharapkan peserta yang terlibat hanya mengkampanyekan lawan/anti militerisme. Tidak diperkenankan untuk mengkampanyekan dukungan bagi Partai, Caleg dan Capres tertentu.
- Untuk menghargai semangat mengundang seluruh unsur masyarakat yang bersepakat dengan platform: “Indonesia Tanpa Militerisme”, maka, di harapkan untuk hadir tanpa membawa bendera organisasi masing-masing.
- Dress code: Baju Berwarna Hitam.
- Silahkan membawa poster, spanduk, baliho, payung hitam dan atribut-atribut lainnya yang bertemakan isu-isu anti militerisme.