Judul artikel: Mari Bung Rebut Demokrasi
Penulis: Coen Husain Pontoh
Diskusi yang kita selenggarakan ini sangat tepat. Karena kita barusan menyaksikan hajatan pemilu yang baru saja lewat. Karena itu, tulisan ini akan saya mulai dengan bertolak dari hasil pemilu 2004 lalu.
Kalau kita menyaksikan hasil pemilu lalu, bagi saya itu adalah penegasan atas dua keadaan: pertama, penegasan bahwa reformasi telah mati. Mati, tidak hanya dalam makna revolusi demokratik, bahkan juga dalam makna demokrasi liberal sekalipun. Kedua, adalah penegasan bahwa gerakan demokratik dari berbagai spektrum atau tendensi (moderat atau radikal), sebenarnya telah mengalami kegagalan. Apapun penilaian kita terhadap kesadaran rakyat, mayoritas telah memutuskan bahwa mereka tak mendengar kita untuk tidak memilih atau memboikot pemilu.
Mari kita lihat fakta berikut ini: Partai Golkar muncul sebagai pemenang; militer menyumbang dua kadernya sebagai kandidat terkuat pemilihan Presiden langsung pada 5 Juli; korupsi tak kunjung usai; keadaan sosial-ekonomi terus memburuk; konflik horisontal tak kunjung padam; harga-harga pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan) makin tak terjangkau.
Kalau kita periksa lebih lanjut, selama masa kampanye tema-tema yang diusung oleh para elite berpusar pada isu-isu: stabilitas, pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan pemberantasan korupsi. Tema-tema ini, sebenarnya adalah mantra-mantra yang paling sering diucapkan oleh rejim Orde Baru (Orba). Tak lagi kita dengarkan tema soal pengadilan HAM bagi pelanggar HAM di masa lalu, pengadilan terhadap Soeharto, penghapusan utang luar negeri, dan penolakan terhadap agenda-agenda neoliberal. Dari sudut ini, pemilu 2004 ini menandakan telah terkonsolidasikannya para elite yang membonceng reformasi. Mereka tak lagi memandang dirinya atau partainya terkotak-kotak dalam dualitas rejim Orba dan rejim Reformis. Ini memang bukan kesimpulan baru tapi, inilah momentum terbaik dari kesimpulan itu. Dualisme itu telah melenyap, membentuk sebuah kekuatan baru yang disebut oleh William I. Robinson, sebagai Oligarkhi Transnasional. Sebuah oligarki yang terbentuk dari kapital internasional yang didukung oleh elite domestik sebagai kompradornya.
Demikian pula, ketika kita menyaksikan pertarungan untuk merebut posisi RI1, kita saksikan betapa kapital membutuhkan sebuah pemerintahan yang kuat. Munculnya nama mantan jenderal Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai kandidat terkuat pemilihan Presiden, membuktikan soal itu. Kemenangan kedua jenderal ini, tak lepas dari tiga hal berikut: pertama, dukungan dari struktur dan jaringan TNI di seluruh daerah pemilihan; kedua, dukungan dana yang tidak terbatas; dan ketiga, tidak adanya gerakan penolakan secara meluas baik dari dalam negeri maupun luar negeri terhadap kedua kandidat dari militer ini. Bahkan pemerintah AS, melalui kedutaan besarnya, memberikan lampu hijau kepada Wiranto untuk terus maju dalam pemilu presiden nanti.
Masalahnya, kediktatoran baru ini tidak dihasilkan oleh sebuah kudeta militer seperti yang menjadi pakem di masa perang dingin tapi, melalui proses pemilu yang legitimate. Dan dalam arena ini pula, gerakan demokratik menerima kekalahannya yang telak.
Politik Gagap Kaum Demokrat
Berhadapan dengan segudang fakta politik yang amat merisaukan itu, kita tak kunjung memperoleh peran yang signifikan. Posisi kita terus berada di pinggiran, kita terus berperan sebagai anjing penjaga, tukang kritik, tukang kawal nilai-nilai luhur kemanusiaan. Tapi, gagal mengaktualisasikan nilai-nilai luhur yang kita yakini itu dalam kehidupan politik praktis, karena kita tidak berkuasa, karena kita tidak didukung oleh mayoritas rakyat pekerja. Mengapa demikian, itulah pertanyaannya.
Saya akan menekankan analisa ini dari sudut pandang kegagalan gerakan demokrat dalam menerjemahkan nilai-nilainya secara aktual. Mari kita mulai dengan hasil dari perjuangan panjang penggulingan Soeharto, yang melahirkan masa transisi dari era kediktatoran militer menuju era konsolidasi demokrasi. Dalam fase transisi ini, kita membangun dan bergerak dalam rejim demokrasi liberal. Saya semula sangat optimis, dalam era demokrasi liberal dimana ruang demokrasi lebih terbuka, gerakan demokratik memiliki peluang yang terbaik untuk memajukan program-programnya, program transisional misalnya.
Kenyataannya, gerakan demokrat tergagap-gagap menghadapi situasi ekonomi-politik yang baru ini. Indikasinya telah jelas: gerakan demokrat bukannya makin terkonsolidasi malah semakin berserak-serak; program-program transisionalnya seperti, penghapusan hutang luar negeri, peningkatan subsidi bahan kebutuhan pokok, pengadilan para jenderal yang terlibat pelanggaran HAM, penolakan terhadap agenda-agenda neoliberal, pengakuan hak sipil-politik dan hak ekonomi-sosial-budaya, bukannya terangkat tinggi-tinggi malah terpuruk dalam jurang yang gelap atau dibajak oleh elite yang bergaya populis; agenda penyatuan gerakan demokrat ibarat lingkaran setan yang tak berujung-pangkal, satu kelompok dengan kelompok yang lain begitu dekat sekaligus sangat jauh.
Kenyataan ini memaksa saya mencari jawab, kenapa dalam alam yang kita perjuangkan mati-matian ini kita justru gagal mengawalnya? Ada beberapa refleksi saya: pertama, gerakan yang kita bangun sejak awal hanya dipersiapkan untuk menghadapi rejim kediktatoran dimana dari sudut program yang ditonjolkan adalah program-program demokratik dan dari sudut organisasi umumnya berbentuk komite aksi.
"The struggle for democracy was fundamental to the struggle against these dictatorship…"
Karena wataknya komite aksi, maka walaupun ada program yang jelas tapi, esensinya gerakan bertumpu pada isu dan karena itu reaktif. Misalnya, gerakan anti utang luar negeri, gerakan anti militer, dsb.
Soal kontribusi organisasi berwatak komite aksi ini tak diingkari secara teoritik, sekalipun. Guillermo O’Donnell, misalnya, menyatakan dalam masa kediktatoran yang paling berperan dalam proses penumbangan rejim, adalah para aktivis HAM, mahasiswa, segelintir intelektual berpikiran maju, dan juga NGO. Tetapi, masih menurut O’Donnel, jika kita mau bicara soal konsolidasi demokrasi maka "Partai Politik" adalah kuncinya. Kenapa parpol yang menjadi kuncinya, karena parpol adalah salah satu kendaraan terbaik untuk terlibat dalam pengelolaan kekuasaan secara aktual dan efektif, parpol tidak hanya bersikap mengawasi pemerintahan yang busuk tapi, juga menggantikan pemerintahan tersebut, parpol memiliki isu yang paling menyeluruh dan karena itu menjangkau kelas masyarakat yang paling luas, parpol tidak bekerja berdasarkan isu tapi, bekerja atas dasar kepentingan paling mendasar dari kelas pekerja.
Dari sudut ini, kegagalan gerakan demokratik karena masih terus mempertahankan watak komite aksi, sementara eranya telah berubah yang menuntut penyikapan yang berbeda pula. Singkatnya, kita ketinggalan kereta karena kereta itu telah dicuri oleh para elite borjuasi.
Kedua, cara kita memandang memandang demokrasi liberal ini sepotong-sepotong atau, seringkali tidak utuh. Mereka yang berjuang di sektor HAM, sering tidak memiliki hubungan organik dengan mereka yang berjuang di sektor ekonomi-sosial-budaya. Begitu sebaliknya, sehingga mengakibatkan gerakan kita menjadi parsial dan ahistoris. Terhadap soal ini, kita berapologi, "gak apa-apa itu namanya pembagian tugas, peran, atau fungsi." Konsekuensi praktisnya, ketimbang membicarakan secara serius aliansi antar sektor, gerakan demokratik justru sering jatuh dalam pengkaplingan bidang garapan. Antara yang bekerja di level elit dengan yang bekerja di level akar rumput, tak pernah nyambung. Lebih parah lagi, tak jarang spesialisasi bidang garapan ini berujung pada konflik pendanaan. Ada semacam keterputusan konseptual yang lantas berimbas pada praktek gerakan.
Ketiga, berkembangnya ideologi non-partisan yang secara teoritik sarat kontroversi. Ideologi non-partisan ini sebenarnya adalah senjata intelektualnya kaum neoliberal, yang "memberi peran kepada masyarakat untuk mengontrol kekuasaan politik tapi, mandul ketika berhadapan dengan kekuasaan ekonomi." Padahal, tak pernah ada sejarahnya bahwa kekuasaan politik bebas dari pengaruh kekuasaan ekonomi. Maka tak heran, jika kaum demokrat yang mengusung tinggi-tinggi ideologi non-partisan ini gagal dalam membaca dinamik masyarakat yang, ironisnya, justru mau diperjuangkannya.
Keempat, akumulasi dari ketiga hal di atas, kaum demokrat tak memiliki sikap tegas terhadap demokrasi liberal. Pada satu saat kita terus membangun keyakinan bahwa revolusi akan datang pada esok hari, ketika krisis semakin dalam dan kinerja rejim berkuasa semakin terpuruk dan nampak tanda-tanda konflik di antara mereka. Inilah akar dari slogan "Mengintervensi Momentum." Pada sisi koin lainnya, kita ingin bermain dalam pusaran demokrasi liberal tapi, kita tak menyiapkan kendaran yang sesuai dengan aturan main demokrasi liberal. Dilema ini membuat kita tergagap-gagap, dan akhirnya jatuh juga dalam sikap reaktif.
Sikap tegas yang saya maksudkan itu, contohnya adalah yang diambil oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kedua organisasi berideologi Islam ini sama-sama radikal, sama berlawan terhadap rejim Orba tapi, mengambil sikap sangat berbeda di masa demokrasi liberal ini (saya di sini tak ingin masuk dalam perdebatan soal pilihan ideologi kedua organisasi ini). PKS memutuskan untuk terlibat dalam arena demokrasi liberal termasuk Pemilu, dan organisasinya dibangun untuk menghadapi proses itu. Hasilnya, kita patut mengacungkan jempol hari ini. HTI sebaliknya, menolak terlibat dalam arena demokrasi liberal dan membangun organisasi sesuai dengan keputusannya itu. Hasilnya, juga harus kita acungi jempol.
Mengapa kita tidak bisa bersikap tegas seperti PKS dan HTI? Mari kita lihat apa itu demokrasi liberal. Pertama, demokrasi liberal pada dirinya sendiri melekat kontradiksi antara kebebasan sipil dan politik dan kebebasan ekonomi. Para transitologi percaya bahwa pondasi kediktatoran adalah pada iklim ekonomi yang distortif (monopoli) dan tertutup (karena intervensi negara). Karena itu, liberalisme politik hanya mungkin kekal jika pada saat bersamaan terjadi liberalisme dan privatisasi ekonomi. Good Governance (GG) perlu diimbuhi dengan Good Corporate Governance (GCG). Akibat dari perkawinan ini, memang ada sedikit ruang bagi kebebasan sipil dan politik tapi, akibat liberalisasi ekonomi kehidupan mayoritas rakyat miskin kian terpuruk. Agenda-agenda neoliberal yang dipaksakan oleh lembaga donor memang mendatangkan efisiensi ekonomi dalam makna efisiensi korporat. Tapi, efisiensi itu harus dibayar mahal oleh rakyat pekerja (PHK, buruh kontrak, pemotongan upah, pelarangan serikat pekerja yang kuat, dsb). Dalam kondisi seperti ini, pemerintahan pilihan rakyat pada masa transisi pada akhirnya menjadi musuh rakyat. Legitimasi yang mereka peroleh dari mayoritas rakyat miskin pada akhirnya digunakan untuk menyerang hak-hak hidup rakyat pekerja. Sebaliknya, popularitas mereka di hadapan rakyat juga runtuh sehingga menyebabkan mereka kehilangan dukungan yang signifikan.
Ciri kedua demokrasi liberal adalah bertumpu pada massa mengambang (floating mass). Dalam konsepsi ini, partisipasi rakyat harus dibatasi secara aktual, apatisme adalah sesuatu yang dihargai. Diktumnya, semakin rendah tingkat partisipasi rakyat atau semakin tinggi derajat apatisme, semakin sehatlah demokrasi. Dari sini, kata-kata "massa" dan atau "rakyat" adalah musuh demokrasi. Dalam bahasa Robert A. Dahl yang terkenal dengan teori Poliarkhy-nya, "jika peningkatan partisipasi politik membawa sektor masyarakat kelas sosial-ekonomi rendah yang berpikiran otoriter ke tengah arena politik, maka demokrasi dapat terancam." Siapa itu, kelas sosial rendah yang berpkiran otoriter? Jawabannya diberikan oleh Seymour Martin Lipset, yang terkenal dengan teori mengenai kesejajaran antara kapitalisme dengan demokrasi,
"…..strata yang lebih rendah relatif lebih otoriter ketimbang kelas menengah atau kelas atas, dan bahwa kelas buruh kemudian menjadi ancaman besar bagi kebebasan."
Dalam praktek, politik massa mengambang ini menegasikan keterlibatan aktif rakyat dalam pengambilan keputusan menyangkut hajat hidupnya sehari-hari. Di masa Orba, rakyat diijinkan mikirin masalah perut sementara, persoalan politik adalah urusan pemerintah. Dari sudut pandang ini, sebenarnya secara politik tidak terjadi transisi demokrasi tapi, hanya menegaskan watak politik warisan Orba. Dalam politik massa mengambang, kesadaran politik rakyat tidak dibimbing oleh sebuah ideologi politik tertentu tapi, oleh isu politik harian yang dikuasai oleh para oligarkhis: penguasa media, para kapitalis, rejim berkuasa, dan kelompok bersenjata.
Celakanya, kelompok demokrat terjebak dalam tradisi politik massa mengambang ini, yang dalam bahasa A.E Priyono et.al, menghasilkan "Demokrat Mengambang." Gerakan demokratik, telah terjatuh pada perjuangan yang berbasiskan isu (lingkungan, gender, korupsi, good governance, good corporate governance, HAM, pendidikan, kesehatan, buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, anak-anak), dan itu semua ditempuh dengan mengandalkan pada kampanye dan advokasi. Gerakan demokratik merasa cukup jika statemennya atau artikelnya dimuat berulang-ulang di media, tampil dalam talkshow radio atau televisi, memberikan prasaran dalam berbagai seminar dan pelatihan. Ini bukan tak perlu tapi, ini semua menjadi keliru dalam bingkai politik massa mengambang. Hasilnya, secara individu memang muncul para pendekar demokrasi, muncul sederet lembaga yang kredibel dalam berbagai bidang garapannya. Tapi, itu semua tak menyumbang secara signifikan pada proses konsolidasi demokrasi.
Dua ciri demokrasi liberal di atas tak memadai jika kita mengabaikan peran aparatus bersenjata. Bahkan, dalam pandangan saya, penerapan demokrasi di negara-negara berkembang jika ingin eksis harus bersandar pada aparatus bersenjata. Pemerintahan terpilih pada akhirnya harus bersandar pada dukungan militer jika ingin eksis, atau harus bersekutu dengan aparatus warisan rejim kediktatoran. Inilah potret hasil pemilu yang kita lihat hari ini, sehingga dalam masa transisi ini yang terjadi bukanlah konsolidasi demokrasi tapi, konsolidasi oligarki; bukan revolusi demokratik yang tercipta tapi, apa yang dalam kasus Meksiko oleh Miguel Ángel Centeno, disebut sebagai "Revolusi Teknokratik." Inilah kesimpulan Adam Przeworski,
"demokrasi yang sempurna sekalipun secara prosedural tetap menyisakan oligarki: kuasa si kaya atas si miskin."
Perlunya alternatif yang konkret
Dalam alam demokrasi liberal, pertarungan tidak lagi pada tataran slogan. Ketika keberanian bukan lagi jawaban atas keterpurukan hidup, yang lebih dibutuhkan adalah alternatif konkret untuk keluar dari tindasan rejim neoliberal. Sayangnya, kita selama ini baru pada tahapan menolak dan menolak, kritik dan kritik. Padahal "rakyat tak butuh janji tapi, bukti!" Kita berteriak-teriak anti neoliberalisme, anti imperialisme, anti korupsi tapi, kita gagal menyodorkan alternatif. Jadinya, kita merasa revolusioner padahal di mata orang kita tak lebih dari sekumpulan orang yang sedang marah.
Atau, seringkali kita juga mengajukan alternatif tapi, alternatif yang kita sodorkan itu begitu abstrak. Sebagai contoh, ketika kita menolak pasar bebas (free trade), kita dituntut untuk memberikan alternatif yang konkret di luar pasar bebas (misalnya, nasionalisme, neo-struktural, atau sosialisme?) Para aktivis anti korupsi sering merindukan pemerintahan yang efektif untuk mengganyang para koruptor. Tapi, bukankah pemerintahan yang efektif adalah pemerintahan yang kuat?
Dalam konteks pemilu 2004, bukankah para kandidat presiden kini beramai-ramai menawarkan janji pemerintahan yang kuat?
Berdasarkan amatan saya, kaum demokrat begitu khawatir dengan masa depan pemerintahan kuat pasca 2004, sebuah kekhawatiran yang beralasan. Tapi, adakah alternatif di luar itu?
Persoalan merumuskan alternatif yang konkret ini jelas membutuhkan kerja keras dan konsistensi gerakan demokratik. Tak ada jalan pintas untuk mencapai kemenangan rakyat pekerja. Keberhasilan gerakan demokratik, jadinya sangat ditentukan oleh kemampuannya memberikan alternatif yang konkret itu. Inilah yang dicontohkan oleh petani tak bertanah (MST) di Brasil, sehingga mengantarkan Partai Buruh Brasil ke posisi pemenang pemilu di negara Amerika Latin terbesar itu.
Penutup
Dari refleksi singkat di atas, saya mengusulkan beberapa hal: pertama, sudah saatnya kita meninggalkan gerakan yang berwatak komite aksi. Gerakan kita tak boleh lagi bersifat reaktif, sekadar dipandu oleh politik berbasiskan pada isu. Gerakan kita itu harus dipandu visi politik jangka panjang dan melibatkan mayoritas.
Dalam konteks ini, gerakan sosial harus bertransformasi menjadi gerakan politik. Dalam bahasa lain, gerakan sosial sudah saatnya berfungsi sebagai lantai dasar bagi berkembangnya gerakan politik. Masalahnya, gerakan sosial berakar pada politik identitas, sementara gerakan politik yang rasional harus keluar dari sekat-sekat identitas. Kalau demikian, apa jembatan penhubung antara politik identitas dan politik kepartaian yang multi identitas itu? Politik yang berbasis kelas adalah alternatif jawabannya.
Kedua, gerakan politik tersebut mesti mengambil sikap tegas terhadap demokrasi liberal: apakah ingin terlibat dalam arena permainan atau tidak. Kita tak boleh lagi bersikap setengah-setengah yang dibungkus oleh pertimbangan taktis. Kita tak boleh lagi berlindung dibalik slogan "non-partisan." Kenyataannya, kita gamang karena kita tak siap menghadapi tantangan konkret. Pilihan ini tentu memiliki konsekuensi teoritik dan praktek yang konkret: jika ingin terlibat maka kita harus menyiapkan organisasi yang sanggup menjadi "mesin" politik demokrasi liberal.
Pilihan ini bukan tanpa masalah. Karena demokrasi liberal bertumpu pada neoliberalisme dan militerisme, maka ada konsekuensi di sana. Pada satu sisi, kita harus membangun organisasi politik yang terbuka yang berani menyuarakan penolakan terhadap program-program neoliberal dan militerisme, dan itu berarti kita berhadapan langsung dengan aparatus kekerasan itu di lapangan. Tidak mudah bergerak dalam situasi yang kontradiktif ini, bahkan dalam banyak kasus organisasi yang sengaja disiapkan sebagai "mesin politik" demokrasi liberal, kesetiaannya jatuh pada oligarki bukan pada basis konstituennya.
Sebaliknya adakah lapangan permainan lain di luar lapangan demokrasi liberal? Tidak ada, karena itu kita harus terlibat aktif dalam arena demokrasi liberal ini. Kita jangan lagi menjadi pemain pinggiran, kita jangan hanya menjadi penjaga nilai-nilai, kita harus menerapkan nilai-nilai itu. Demokrasi harus kita rebut kembali. Jika ini yang kita lakukan, saya optimis masih ada harapan bagi masa depan konsolidasi demokrasi.
———
Cat. Tulisan ini sebelumnya dipresentasikan pada diskusi terbatas Indonesia Corruption Watch (ICW), pasca Pemilu Legislatif 5 Juli 2004.
Artikel ini dikopas dari bloknya Coen Husain Pontoh untuk pendidikan