1965. Bukan saja merupakan tahun terbukanya pintu gerbang bagi akselerasi modal yang lebih tinggi, bagi perluasan geografi modal, namun juga adalah pintu gerbang bagi penataan formasi modal yang baru (baca: penghancuran modal lama)—anarkisme terhadap tenaga produktif lama, guna menetapkan karakter pemilikan modal baru (dengan watak politik yang lebih loyal terhadap kekuasaan baru yang sedang mengakomodir masuknya modal asing).
Takdir akhir bagi modal priyayi-priyayi patron Partai Nasional Indonesia (PNI), yang masih berkutat dalam modal perdagangan (merchant capital); takdir akhir bagi industri negara pasokkan negeri-negeri sosialis, yang masih dalam taraf pelatihan untuk ditangani oleh priyayi-priyayi yang tak memiliki basis historis lahir dari kandungan ibu masyarakat borjuis nasional (indigeneous); takdir akhir bagi industri kecil swasta, yang kuno—terutama tak massal—dan tak menarik, tak relevan, seketika dibandingkan dengan pencerahan barang-barang baru, barang-barang Barat.
Semuanya, industri negara—yang sektarian terhadap modal Barat—merchant capital dan industri kampungan borjuis kelontongan memang pantas dihancurkan dihadapan rasionalisasi rencana trilyunan dollar modal baru dari Barat—tenaga produktif kelontongan justru memang pantas dilumatkan (anarkisme) karena tokh tak bisa menjadi basis bagi rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal baru dari Barat tersebut. Tenaga produktif manusia Indonesia (human experience-nya) pun dianggap kelontongan, yang tak relevan dihadapan rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal Barat tersebut, apalagi jutaan borjuis kecil sekolahan sudah dalam atau sedang dalam recana cengkraman hantu komunis.
Jadi, anarkisme (baca: pembantaian) terhadap mereka pun memang bisa masuk ke dalam pembukuan (harian) Barat. Oleh-oleh pencerahan trilyunan modal Barat, dengan imbalan kado 3 juta bangkai manusia dan pemenjaraan (sampai mati potensi) ribuan manusia sampah/parasit bagi modal Barat tersebut adalah pertukaran yang pantas bagi Orde Baru pembangunan—bila ingin membangun harus dengan basis tenaga produktif dan hubungan sosial yang benar-benar baru, bila tak ingin ada kemungkinan perlawanan dari 3 juta anggota dan 10 juta simpatisan komunis, yang mungkin akan “tak rasional”,
MENOLAK oleh-oleh dari Barat, atau Go to Hell with Your Aid!. Bravo! Pintu gerbang memang sudah didobrak kesatria borjuis, yang datang dari Barat untuk melumat sisa-sisa priyayi pra-borjuis; disambut sorak-sorai pertanyaan suku anak dalam msayarakat pra-borjuis: “Cermin ajaib, cermin ajaib, siapakah kami?” Dijawab oleh sang penabur modal (dari Barat): “Engkau lah yang ramah tamah, masyarakat pra-borjuis; engkaulah yang akan menjadi tercantik, menjadi masyarakat borjuis, seperti kami, dari Barat.”
Di tahun 1965, di dalam masyarakat pra-borjuis yang kurus kering, siapa sebenarnya yang menyambut kesatria modal dari Barat itu? Mereka itu adalah gabungan (yang berinteraksi) dari: TENTARA, yang mau berlagak sebagai kesatria modal dalam negeri. Berumur sekitar 40-50an. Hasil dari pendidikan penjajahan Belanda (KNIL), hasil dari pendidikan penjajahan Jepang (PETA), dan hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional. Mereka yang dominan adalah hasil dari dua yang belakangan; dan yang pertama, bila pun masuk ke dalam struktur kekuasaan bersama dua yang belakangan, kehilangan elan gagasan-gagasannya—dengan demikian hilang pula elan kekuasaannya—terbuang atau adaptatif.
Tentara-tentara didikan KNIL—yang sedikit-banyak memboyong konsep tentara profesional masyarakat borjuis (dengan begitu maklum akan keinginan tata-tertib masyarakat borjuis)—dalam proses revolusi nasional, terbukti benar-benar tipis keimanan borjuisnya, hanyut dilibas banjir perasaan unggul perjuangan bersenjata versus perjuangan diplomatik. Dan konsekwensinya, protes dan tuntutannya, adalah: tentara pun harus berpolitik; tentara bukan alat politisi (sipil); tentara harus ada di jalan tengah (baca: dwifungsi ABRI); politisi tak bisa mengurus kemenangan revolusi nasional, kerjanya cuma bertengkar—demokrasi mereka pahami sebagai bertengkar; pertahanan rakyat semesta memerlukan struktur tentara yang bergandengan dengan struktur administrasi pemerintahan sipil; dan lain-lain, dan lain-lain, yang intinya:
Kami priyayi (kebanyakan priyayi jadi-jadian), yang karena itu dididik di sekolah perwira KNIL, harus punya kesempatan menjadi elit kekuasaan—namun, tak mungkin terpikir oleh kami menjadi borjuis. Itulah juga alasan mengapa kami mendaftarkan diri untuk dididik di sekolah perwira KNIL, menjadi elit di tengah bangsaku yang melarat, kuno dan menjijikan, walau hanya menjadi perwira KNIL recehan (baca: kaki tangan kolonial) yang, sebenarnya (menurut doktrin tentara professional), diajarkan untuk tidak boleh menjarah kehidupan sipil di luar tangsi, hidupku seharusnya hanya di sekeliling tangsi dan ke luar tangsi bila ada perlawanan bangsaku yang tak bisa diatasi secara politik.
Patut juga kau maklumi mengapa iman borjuisku lemah. Apa yang kau harapkan dari pendidikan kolonial. Masih kah kau harapkan aku diajarkan menghargai, takzim akan, tata tertib masyrakat borjuis seperti di Eropa—menghargai hak-hak manusia, sebagai individu sekalipun, yang menjadi landasan bagi demokrasi. Percaya kah kau tak ada manipulasi kolonialisme terhadap demokrasi (di bumi jajahan)? Breidel, Schoolverbood,
Digul adalah penghianatan terhadap ibu (demokrasi) Eropa. Dan tak pernah terbayang bawa kami, bangsa yang menjijikan, bisa melawan kolonial dan memindahkan Eropa ke Indonesia. Tidak, kami tak pernah diajarkan punya keyakinan seperti itu; Islam-Islam itu, komunis-komunis itu, juga Soekarno, yang punya keyakinan seperti itu, melawan—walaupun, sebenarnya, mereka tak mengerti apa itu Eropa, dan tak punya kepercayaan bahwa, sebenarnya, demokrasi
Eropa juga merupakan basis bagi populismenya (baca: kerakyatannya), Eropa juga yang mengajarkannya. Tidak, kami, KNIL, tak pernah diajarkan untuk punya keimanan seperti itu. Dan, bagi kami, rasionalisasi Hatta tak boleh memasukkan penghapusan dwifungsi ABRI. Kami setuju pada rasionalisasi Hatta (yang tak menghapuskan dwifungsi ABRI) karena dengannya kami bisa menyingkirkan tentara-tentara gembel, yang sudah dan bisa condong ke komunis. Kami harus mendukung Hatta agar kami lah, yang berpendidikan tinggi, yang menjadi pimpinan tentara dan tak ditangsikan.
Kami memang tak ditangsikan, namun kami tak berdaya di hadapan gembel-gembel PETA, yang jenderalnya jadi Panglima TNI. Namun, lebih baik daripada tak berdaya di hadapan gembel-gembel tentara komunis. Kami kira adalah baik bekerjasama dengan gembel-gembel PETA.” Yang (sedikit) lulusan Breda, apalagi, bahkan sudah tak bermakna sejak masa revolusi nasional, punah dilibas radikalisme/militansi kerakyatan borjuis kecil pra-borjuasi.
Kekalahan Rusia oleh Jepang tahun 1905 dan kemenangan-kemenangan Jepang di Asia dalam Perang Dunia kedua serta, terakhir, kemenangan Jepang dari Belanda di Indonesia dianggap sebagai kemenangan Timur (Rakyat) atas Barat (penguasa/elit)—semuanya memang terdengar sampai ke kabupaten-kabupaten. Sorak-sorai jamuan kedatangan bagi “Sang Pembebas”, sejak dari pantai hingga ke pedesaan. Kaum miskin kota, pengangguran, gembel-gembel, rame-rame daftar jadi PETA dan Heiho. Yang mereka dapat di PETA dan Heiho:
“Ayo, disiplin baja, disiplin baja—pelanggaran terhadap disiplin adalah aib yang harus dibayar siksaan fisik—jadi tentara, jadi tentara, karena tentara adalah penguasa negara sesungguhnya, bahkan penguasa negara Asia Timur Raya. Kita adalah saudara, dan kami, Nipon, sudah menjadi saudara tua kalian, pengusir penjajah dari tanah air kalian. Marilah menjadi tentara, tentara bersama Asia Timur Raya. Jangan jadi tentara untuk rakyatmu seperti Supriyadi—Supriyadi menganggap saudara tuamu penipu.
Disiplin, kekerasan, adalah ilmu untuk bangsamu. Masukkan rakyatmu dalam rumah kaca cacah jiwa, wadah-wadah sektoral perempuan, pemuda dan lain-lainnya, agar bisa dipekerjakan dengan keras, diawasi dengan disiplin baja dan kekerasan, demi bangsamu—yang akan kami berikan kemerdekaannya—dan demi kejayaan Asia Timur Raya. Apalagi calon-calon pemimpin bangsamu yang merdeka merestuinya—ya, pasti mereka merestuinya karena, menurut mereka sendiri, menerima Jepang bukan lah kolaborasi tapi taktik sambil menyelam minum air, karena Nipon tetap mengajarkan nasionalisme (baca: anti Barat) dan, dengan taktik tersebut, pimpinan perjuangan kalian tidak akan dibasmi Jepang.
Ya, patuhi lah pimpinan perjuangan kalian, yang akan menerima kemerdekaan dari kami, yang merakyat (dengan memberi contoh bagaimana Romusha mencangkul), yang tabah menghadapi kematian ribuan Romusha demi taktik, dan yang rela menyerahkan perempuan-perempuan bangsanya untuk menghibur kami, 'Sang Pembebas'."
Disiplin dan kekerasan di tangan tentara-tentara PETA dan Heiho hanya berlaku di dalam tangsi namun, di luar tangsi, ketika mengangkangi kehidupan sipil, hanya tinggal kekerasannya—bedakan antara disiplin (industri) borjuis dengan disiplin tentara PETA—sedangkan disiplinnya lekang oleh kenikmatan gelimang kekuasaan dan uang tanpa keringat, saat menjadi penguasa dan pemilik alat produksi dadakan, penerima oleh-oleh modal dari Barat dengan imbalan kado 3 juta kaum kiri yang dijadikan bangkai, dan ribuannya dijadikan buangan atau penghuni penjara.
Gerombolan bandit didikan PETA yang berseragam dan bersenjata inilah yang terus menerus sukses mengangkangi negara, dan terus menerus juga sukses mewariskan watak banditnya ke generasi AMN dan AKABRI—serta menempatkannya di (daerah-daerah garongan) rumah-rumah sipilnya dwifungsi ABRI, yang semakin meluas semakin meluas saja. Buah tak jauh dari pohonnya—gerombolan bandit ini memang dikepalai oleh tentara didikan PETA yang sudah terbiasa menjadi koruptor, penyelundup dan rentenir/KKN bagi pengusaha-pengusaha Tionghoa—sudah menjadi kebiasaan tentara menjadi rentenir atau penjual izin usaha, penjamin kemenangan tender, dan tukang pukul pedagang/pengusaha Tionghoa.
Bisa kah kita berharap mereka berpikiran untuk bertransformasi menjadi borjuis? Ketika mereka mencoba pun, ternyata hampir seluruh perusahaannya mengalami kebangkrutan. Bisakah kita berharap pada borjuis tentara dadakan tersebut? Menitip dendeng pada anjing. Sukses perwira-perwira KNIL mengkonseptualisasikan dan menggelar permadani merah dwifungsi ABRI di tahun kembalinya kita ke UUD-45, di tahun kediktatoran demokrasi terpimpin, merupakan hadiah terbaik bagi gerombolan bandit didikan PETA tersebut.
Perwira-perwira KNIL, ibu pewaris kediktatoran tersebut, akhirnya dibunuh oleh Malin Kundang gerombolan bandit didikan PETA, bukan karena mereka lebih pro-Barat—Barat tidak pernah mewarisi dwifungsi ABRI—namun semata-mata karena perebutan kekuasaan di tentara demi, justru, rebutan oleh-oleh dari Barat, kemudian rebutan jarahan peristiwa ‘65, lain tidak.
Memang benar, bahwa untuk menghancurkan masyarakat pra-borjuis yang tenggelam dalam kediktaktoran pabrik retorik nasionalis-populis selumat-lumatnya, setandas-tandasnya, Barat harus tergantung pada tentara. Namun, untuk membangun masyarakat borjuis maju—dalam muka kasih sosial-demokrat seperti di Eropa—sejarah Barat tak pernah mengajarkan bahwa hal tersebut bisa dikelola oleh dwifungsi ABRI. Tak juga bisa dipararelkan dengan sejarah fasisme.
Senang atau tak senang, sudah diakui, oleh Barat sekalipun, bahwa hal tersebut harus dikelola borjuasi Tionghoa—yang diperas oleh senjata, seragam birokrat, dan sentimen SARA/diskriminasi. Kekalahan demokrasi Tirto Adisuryo (oleh manipulasi kolonial Belanda, oleh pedagang-pedagang kelontongan muslim, dan oleh politisi-politisi begundal kolaborator Belanda), kekalahan demokrasi liberal tahun 50-an (oleh Soekarno-Tentara-PKI), dituntaskan oleh dwifungsi ABRI/Orde Baru dalam kondisi yang berbeda—demokrasi Tirtoadisuryo cenderung menggapai nasionalisme dan dalam lingkup modal kolonial di sektor agrikultur; demokrasi liberal tahun 50-an ada dalam lingkup borjuasi kere, kurus kering-kerontang, relatif kosong dari agen-agen modal asing, terutama setelah nasionalisasi; dan dwifungsi ABRI/Orde Baru mencoba beriringan dengan modal yang skalanya lebih luas, baik dalam jumlah maupun dalam geografisnya, dan batas-batas rasionalisasi diversifikasi produknya lebih ke manufaktur, ekstratif, infrastruktur penunjangnya, finansial dan jasa-jasa lainnya, bukan langsung ke agrikultur. Bisakah?
Dalam logika historis, agen perluasan modal Barat seperti itu hanya bisa ditangani oleh borjuasi Tionghoa—Barat sadar itu, tak akan ia menghancurkannya, tak akan ia terseret oleh arus sentimen SARA. Karena itu wajar bila ada kesimpulan bahwa rencana kerusuhan SARA Mei, 1998, adalah tawar menawar (baca: pemerasan) Soeharto pada Barat, yang sudah lama—sejak mengirim Carter—meminta Soeharto turun secara terhormat. Barat sadar, sesadar-sadarnya, tak mungkin masyarakat borjuasi dalam skala modal yang besar dan jalinannya dengan sistim kapitalisme global yang luas dapat digardai dwifungsi ABRI. Namun Barat pun sadar-sadarnya bahwa gradualisme penghapusan dwifungsi ABRI adalah siasat untuk mengatasi ABRI yang akan seperti anak-anak yang suka melempari rumahnya sendiri bila mainannya (yang membahayakan) dirampas, Barat sadar akan siasat untuk menekan resiko terhadap modal.
Yang merupakan hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional, terutama mulai tahun 1949-an, adalah borjuis kecil kota—terutama dari kaum miskin kota—dari lapisan masyarakat di sekeliling kota-kota pusat propinsi (istilah sekarang), sedikit sekali dari pedesaan (ingat, istilah “pergi ke front” kongkritnya adalah pergi ke desa), dan biasa disebut laskar-laskar rakyat, baik dari Islam, komunis, maupun nasionalis. Setelah komandan-komandan Naga Bonar dilikuidasi dan diintegrasikan kepada TNI, mereka kemudian hanya menjadi komandan-komandan kecil, tentara-tentara kroco berpangkat prajurit, sersan, paling tinggi rata-rata letnan.
Sedangkan pangkat kapten sampai jenderal (kebanyakan) dikangkangi oleh tentara-tentara didikan PETA dan tentara-tentara didikan KNIL. Proses integrasi tersebut juga adalah proses kemenangan kepemimpinan tentara (yang kebanyakan) didikan PETA dan (sebagian) tentara didikan KNIL. Watak populis (laskar-laskar) menjadi basis bagi kebencian terhadap perwira-perwira bekas KNIL apalagi, dalam perjalanannya, mereka lebih dekat kepada politisi sipil—itu artinya perjuangan diplomasi ketimbang (ke lapangan) angkat senjata.
Legitimasi kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA sebenarnya hanya berdiri di atas dua basis—berhasil mengurung dan mengusir tentara Inggris di Ambarawa dan menolak meletakkan sejata, lebih baik ke gunung (ketika ibukota Yogyakarta diduduki)—plus tambahan serangan umum (lebih tepat sebagai serangan Jogja) 11 Maret. Sedangkan pertempuran 10 November, 1945, di Surabaya, yang sebenarnya merupakan perang internasional modern—dilihat dari persejataan sekutu pada saat itu—yang lebih heroik, yang lebih bermakna “insureksi”, dan berhasil dimenangkan (dalam skala tertentu politik), tidak pernah dijadikan titik tolak potensi penekan yang dapat membantu perjuangan diplomasi, dan juga tidak dijadikan basis bagi pengangkatan kepemimpinan tentara yang lebih bersih dari tentara-tentara didikan KNIL dan PETA.
Perjuangan bersenjata dalam kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA dan KNIL kemudian hanyalah jadi kelompok-kelompok penggangu Belanda (tidak efektif) dan parasit-parasit pedesaan—mereka sudah terbiasa menjadi golongan istimewa yang tidak produktif, tidak ada doktrin produksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri (seperti dalam Tentara Pembebasan Mao). Metode perjuangan bersenjata yang menyatu dengan pergolakan massa seperti di Surabaya tidak pernah menjadi doktrin dalam apa yang mereka namakan “TNI-Rakyat.”
Tentara-tentara kaum miskin kota kemudian mulai diakomodir dalam apa yang tidak bedanya dengan dwifungsi ABRI—menjadi tentara pembantu wedana/camat, tentara pembantu lurah dan sebagainya di landasan pengabsahan untuk membantu sipil menunjukkan bahwa administrasi Republik masih ada, masih jalan. Dalam euphoria revolusi nasional, tentara-tentara kaum miskin kota ini makin menjadi-jadi pragmatismenya, sektarianismenya, kekakuannya (hitam-putihnya), dan kekerasannya. Perselisihan berlatarbelakang ideologis selalu diakhiri dengan culik-culikan, kudeta-kudetaan, bunuh-bunuhan, dari mulai skala yang kecil sampai pembantaian Madiun, berlanjut terus sampai tahun ‘60-an dan tahun ’65.
Bacaan-bacaannya pun banjir darah, tak ada yang namanya toleransi demokrasi, terlebih-lebih lagi, setelah integrasi ke TNI, tak ada bacaan TNI yang bisa berbicara tentang kaitan tentara dan demokrasi—bukan alasan untuk mengatakan tak ada bacaan dalam masa perang, bila kita lihat menjamurnya bacaan di kalangan pejuang sipil di masa perang. Problemnya adalah tak adanya integrasi (baca: kepatuhan) tentara ke dalam kehendak-kehendak sipil, mereka sudah terbiasa berkubang dalam anggapan sipil adalah kompromis, sipil lambat, sipil bertengkar terus, sipil lemah, tentara unggul dan tegas—sebenarnya sektarian, pragmatis dan keras/berdarah.
Hasilnya: dalam perang tersebut, berapa tentara Belanda yang mati dibanding TNI yang mati? Jauh lebih banyak TNI yang mati; dalam revolusi nasional tersebut, berapa orang-orang Indonesia yang mati oleh Belanda dibanding yang mati oleh orang-orang Indonesia sendiri? Lebih banyak yang oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan lebih baik dikatakan bahwa romusha-romusha ini mati karena ulah pemimpin-pemimpin bangsanya sendiri ketimbang oleh Jepang, karena hal tersebut tidak terjadi di negeri-negeri lain yang pimpinan-pimpinannya bukan kolaborator Jepang.
Kasus Westerling pun membuktikan bahwa tentara-tentara tersebut kebanyakan sedang bersembunyi di pedesaan atau pinggiran kota. Kasus Bandung Lautan Api dan hijrah ke Jogja membuktikan tentara sedang meninggalkan rakyatnya. Kemunculan politisi-politisi didikan Eropa tak pernah sampai berhasil mapan menanamkan aturan main toleransi demokrasi kepada tentara-tentara borjuis kecil ini maupun kepada politisi-politisi buatan dalam negeri, selalu dikalahkan, diganggu, disabot, dikudeta—misalnya, terlepas benar-tidaknya program front perjuangan, mereka tak punya aturan main toleransi demokrasi, main culik, main tahan. Apalagi mereka yang terlibat di front perjuangan bukan lah atas komitemen (baca: pengabdian) atas program tapi atas (persisnya) oportunisme borjuis kecil—menjatuhkan prinsipnya setelah disogok jabatan dan melepas tanggung jawab (baca: memfitnah) agar tidak disidangkan.
Dalam vakum proses peralihan kekuasaan dari penjajahan, mereka inilah yang merampoki, menjarah, memperkosa, dan membunuhi orang-orang Belanda atau yang mereka tuduh pro-Belanda. Tentara-tentara borjuis kecil yang berlumuran darah, koruptor dan penjarah tersebut menghadapkan pertanyaan kepada kita makna kata “revolusi” dalam kalimat revolusi nasional; kemenangan tentara-tentara borjuis kecil ini (baca: bandit-bandit yang secara legal dipersenjatai), yang menjarah lorong-lorong kehidupan sipil, menghadapkan kembali pertanyaan kepada kita: sudah tuntas kah revolusi demokratik? Nasionalisme tentara-tentara borjuis kecil di tanah jajahan, yang dibalut populisme—“kami bebaskan kalian, rakyat, dari kekejian penjajahan Belanda dan Jepang”—terbukti tak cukup untuk membuat mereka takzim pada demokrasi.
Dikutip dari catatan facebook Danial Indrakusuma