Artikel ini hanyalah kopian dari diskusi-diskusi yang ada di facebook dan kami publikasi ulang selain karena sangat menarik karena mendikusikan soal militerism dan sipil. Tujuan pemuatannya hanya untuk pendidikan dan memudahkan kita membaca ulang pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam diskusi tersebut. Diskusi ini sendiri terbangun setelah Ilyas Hussein memposting berita dari JPNN dengan judul: Prabowo Tegaskan, Gerindra Siap Koalisi dengan PDIP Mari kita simak diskusinya dan semoga bermanfaat.
.......................................................
Gerigi Hitam: Waaahhh,,, kasihaaan.
Catur Ha: padahal di hutan ga selalu hrs jd monyet kan yaaa..akakak
Ata Bu: Ngusung issu militerisme bukan berarti juga dukung elit borjuis sipil. Apalagi dalam posisi LAWAN PEMILU. Untuk memberikan warning bahwa selain kapitalisme yang didukung kelas Borjuis-Kapitalis, juga ada penguatan signifikan dari musuh rakyat paling reaksioner, partai militeristik. Apsek stratak juga bisa diterapkan dalam berpropaganda, tidak plat (yang terpenting kalo udah serang kapitalisme udah pasti satu paket).
Santoso Widodo: haduuuh..... bukankah dlm sistem politik para borjuis ini sesungguhnya tidak ada borjuis yg bermusuhan ya?
yowis aku rapopo
Santoso Widodo: jokowow dan prabowow itu serasi kok,bagaimana mungkin disuruh musuhan
Surya Anta: Menolak pemilu adalah keharusan untuk mendelegtimasi proses, sistem, peserta, dan hasilnya. Menolal pemilu tidak sama dengan mengagalkan pemilu. Gagalkan pemilu harus dengan boikot, pemaksaan, bahkan dlm sejarahnya bersenjata. Kalau tak mampu gagalkan pemilu maka pemilu jalan, meski golputnya tinggi. Namun sering kali golput tinggi tak berarti musuh-musuh paling berbahaya tidak untung. Lihat saja, suara golkar besar. Suara gerindra naik hampir 8% . Kalau posisi kita pukul rata, tanpa penekanan militerisme, yang untung kekuatan sisa orba dan militeris. Justru kalau tanpa penekanan, jokowi pun bisa militeris, dengan atau tanpa koalisi dengan prabowo, apalagi dengan prabowo. Karl Liebcknet menyebutkan militerisme kuat ketika karakter borjuisnya lemah, persis to seperti Indonesia. Jadi, mengangkat isu militerisme saja dalam lapangan minimum, atau seperti posisi kami, yang dipadu-padankan dengan lawan pemilu dan bangun partai alternatif, menguntungkan bagi demokrasi. Dan tanpa demokrasi tak mungkin sosialisme tercapai.
Ata Bu: Mengapa saat fasisme mengancam dunia, kaum pergerakan di Indonesia dahulu, termasuk kaum kiri sampe bikin Front Anti Fasis yang di dalamnya ada negara-negara kapitalis termasuk Belanda yang waktu itu juga menjajah Indonesia? Itu contoh ekstrimnya. Walaupun dalam mengusung issu militerimse saat ini bukan bearti dalam posisi dukung Jokowi, Sudah Jelas, dalam posisi Lawan Pemilu. Sesama kelas borjuis pasti bersaing dalam poliitk dan ekonomi, bisa juga antar faksinya perang bunuh-bunuhan. Walaupun mengusung issu militerimse juga bukan karena landasan mereka akan berantem atau akur, ngak ada urusan dengan itu. Tujuannnya selain mempertajam serangan pada faksi borjuis paling reaksioner juga menunjukan pada rakyat bahwa ada bahaya nyata pemusnahan ruang demokrasi lebih cepat dengan menguatnya militerisme.
Ata Bu: Kepentingan gerakan nyerang militerisme lebih tajam. Bukan nyuruh Jookowi-Parbowo musuhan.
Surya Anta: Ditambah lagi suprastrukurnya sudah dipersiapkan: UU PKS, UU Intelijen, UU Ormas, RUU Kamnas, RUU KUHP.
Soli Ir: singkatnya bgmn pak anta dan bung surya? apakah dalam alam demokratis yang sejati militer tidak lagi dhbutuhkan gitu? maksud kita simple aja selama kapitalisme blm tumbang segala kekuatan yang menguntungkan pasti di gunaka. . .
Soli Ir: oh ya satu lagi, membangun front anti fasis jangan juga menjadi pembenaran untuk bekerja sama dengan kaum imperialis kan? sbgmn taktik yg dilakukan oleh gerakan kiri jaman stallin??
Ata Bu: Betul. Aku hanya bilang bahkan ada contoh seekstrim itu. Tentu tidak mesti seperti itu. Aku komen di sini karena dari status Ilyas Hussein di atas ada konten serangan, cemooh terhadap posisi "issu militerisme" yang digeneralisir seolah yang ngusung issu militerimme sama dengan dukung borjuis sipil.
Badai Selatan: Pertama agak sulit menjelaskan memberikan tekanan lebih kepada militerisme tanpa harus mengurangi tekanan kepada "sipilisme"...contohnya misalkan sulit membayangkan memberikan tekanan lebih kepada prabowo tanpa harus mengurangi tekanan kepada jokowi??disitu sudah tidak ada perimbangan tekanan....dan UU Represif semacam UU PKS, Ormas dll tidak hanya milik militer....borjuasi pun pasti menggunakan alat itu dalam keadaan terdesak...
Bagi saya pribadi dalam ruang demokrasi yang luas maupun terancam sempit buruh tetap harus menjaga independensi kelasnya....
Soli Ir: lah, bukan nya memang ada golongan yg kayak gitu? yg kampanye anti militerisme tapi tidak juga anti pemilu 2014? di mana salah nya kalo kita bongkar watak yg demikian? ketum fpbi aja bilang "podo ae" kan?
Ata Bu: Penjelasan simpelnya: Ada indikasi situasi akan kembali seperti jaman ORBA, militer bisa leluasa tiap saat bertindak, bahkan punya jatah khusus di Parlemen. Nah, waktu jaman Soeharto berjaya, ada gerakan yg bisa hidup nggak? apalagi yang kiri?
Danial Indrakusuma: Militerisme yang berkolaborasi dengan sipil (misalnya GERINDRA-PDI-P) tetap saja harus kita hantam, malah lebih berbahaya karena seolah ada pembenaran dari sipil. Ingat tahun 1965, militer memperoleh pembenaran dari mahasiswa (angkatan '66) dan sosial-demokrat sipil. AKU TIDAK TERTIPU. Jadi ingat saat kami ngangkat Dwi-fungsi ABRI sebelum tahun 1998.
Ata Bu: Sol Ir@Kalo ada organisasi yang ngusung issu militerisme terus organisasi tersebut juga gabung di Komite Politik Alternatif dan ngusung issu Lawan Pemilu, apa akan kamu sebut organisasi itu sekutu borjuis?
Danial Indrakusuma: Dahulu, kaum pergerakan sebelum 1998, mereka mengangkat program dan slogan (semboyan): Hapuskan Dwi-fungsi ABRI! Mereka kesepian, sedikit saja yang mendukung. Mereka, yang hanya segelintir itu, berjuang dengan penuh resiko menghadapi kebrutalan tentara. Sebagian oposisi kaum "demokrat" tak mau mendukungnya dengan berbagai pertimbangan--belum waktunya; masih ada tentara yang baik; tidak taktis, karena pergerakan bisa dihancurkan sebelum waktunya; mimpi terlalu besar; jangan sok heroik; atau, juga, karena mereka takut (karena batas antara taktis dan waspada dengan takut, setipis kulit bawang). Karena situasinya demikian, maka kaum pergerakan terpaksa melakukan dua taktik: 1) berkompromi dengan kaum "demokrat" yakni, saat bersekutu dengan kaum "demokrat", kaum pergerakan terpaksa menanggalkan atau tidak mengikutkan program Hapuskan Dwi-fungsi ABRI. Tujuannya: yang penting ada atmosfir perlawanan yang berkembang dan meluas; 2) taktik kedua adalah dilandaskan pada hal ini: walaupun ada atmosfir perjuangan yang berkembang dan meluas namun, bila tidak ada agitasi-propaganda Dwi-fungsi, maka massa, rakyat, tidak akan menyadari penting dan mendesaknya Penghapusan dwi-fungsi ABRI. Dengan pertimbangan tersebut, selain melakukan persekutuan dengan kaum "demokrat" dalam memperjuangkan program-program demokratik, juga melakukan tindakan-tindakan dan aksi-aksi militan--demonstrasi hit-and-run (semi-legal); corat-coret tembok (grafity) di jalan raya atau di kampung-kampung; selebaran massal (semi-legal); pendidikan di basis-basis pengorganisiran (semi-legal); dll. Barulah setelah pergerakan meluas dan bertambah militan, maka lebih banyak unsur-unsur (termasuk kaum "demokrat" itu) yang sepakat dengan program Hapuskan Dwi-fungsi ABRI.
Sejarah seperti berulang--kata M, dalam bentuk lelucon): kaum demokrat tidak sensitif atau tidak militan dalam menghadang unsur-unsur sisa-sisa orde baru (yang militeris) yang mau berkuasa kembali. Padahal kita masih punya sisa dosa, sisa kesalahan: pada Pemilu yang lalu kenapa GERINDRA bisa 4% masuk parlemen; kenapa SBY bisa menang; kenapa GOLKAR masih berkibar dll.
Aku jadi ingat apa yang dikatakan L: sosialisme tanpa demokrasi yang didorong sepenuh-penuhnya adalah OMONG KOSONG.
Danial Indrakusuma: Bercermin lah:
Apa benar bahwa kita tidak melihat Jokowi dan para pendukungnya (termasuk KIRJOK = Kiri-Jokowi) begitu militan menghadang sisa-sisa orde baru yang militeris yang akan berkuasa kembali? Apa cukup dengan AKU RAPOPO? Apalagi harus mempropagandakan politik tandingan dan partai/organisasi tandingan.
Walaupun suara PDIP-P meningkat tapi, bila suara GERINDRA juga meningkat, ya piye, OPO RAPOPO?
Taktik benar tidak cukup hanya di atas kertas, atau cuma sekadarnya saja perjuangannya, yang penting bukan menafsirkan dunia, tapi mengubahnya. Harus mati-matian, harus militan, menghadang sisa-sisa lama orde baru, terutama yang militeris.
Soli Ir: Dan yang demikian kami dudukkan sbg taktik hidup dan taktik berkembangnya klass borjuis (baik secara sendiri sendiri maupun kolaborasi dg sipil militer) Subtansi nya ada pada semakin menguatnya dominasi klass borjuis atas proletariat
Badai Selatan: Lagi lagi menurut saya....militerisme tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme...definisi seperti itulah yang kami pahami selama ini....sehingga tarik menarik kekuatan antara faksi militer dan sipil saat ini tidak lah abadi....sesudah pertarungan singkat ini mereka pasti kembali mengkonsolidasikan kekuatan bersama....potensi kembalinya rezim militeristik (baik pemimpinnya sipil maupun militer) searah dengan bangkitnya gerakan rakyat dan juga semakin dalamnya krisis yang dialami kapitalisme....
Danial Indrakusuma: Lenin pernah mengatakan bahwa ada berbagai demokrasi di berbagai negeri, ada yang "lebih baik", ada yang lebih buruk. proletar akan semakin diuntungkan oleh demkrasi bila demokrasi didorong sepenuh-penuhnya. Apakah kita tidak waspada bahwa demkratisasi tenaga produktif akan semakin sulit bila manusia proletar (bagian dari tenaga produktif) dihambat demokrasinya, dihambat kebebasannya, atau, dalam bahasa kiri, dihambat INDEPENDENSINYA. Proletar akan semakin independen bila menemukan kekuatan massanya, dan kekuatan massa akan semakin mudah dihimpun dan tersadarkan bila demokrasinya semakin penuh. Dalam memblokade negara yang akan disusupi watak militeris, tentu saja kita tidak akan bisa menerima kaum demokrat gadungan dan KIRJOK yang RAPOPO atau malah mendukung sipil berkolaborasi dengan unsur-unsur yang militeris. Diktum dasarnya adalah negara juga di dalamnya ada tentara, kapitalis menggunakan tentara, tapi itu bukan berati dipukul rata. Tidak, kita harus berupaya kapitalis (sipil) menjauh atau tidak bisa bersandar pada tentara, atau kapitalis harus diperlemah dengan memapas kekuatan tentaranya--bahkan di negeri-negeri Amerika latin sampai diperangi oleh gerilya bersenjata kaum kiri.
Soli Ir: @ata, pak ata yg terhormat, lahhh... saya kan nggak pernah bilang gitu e? yg mau diluruskan di sini kan ada yg sok2 an anti militerisme tp ternyata di gunakan buat alat kampanye pemenangan di pemilu 2014? kan sia sia juga kalo kita sudah capek2 kampanye anti militerisme yg baik dan benar tp malah di ambil org lain sbg keuntungan, bkan bgtu?
Badai Selatan: Nah mohon pencerahannya kalau begitu...diktum dasarnya dalam negara terdapat tentara...pertanyaan saya ialah secara historis adakah kapitalis yang menjauhkan diri dari tentara? bukankah kemunculan tentara/alat represif itu seiring dengan tumbuhnya negara? negara adalah alat penindas kelas...dan tentara tidak bisa dilepaskan dari negara si alat penindas kelas itu...
Ata Bu: Badai, Kalau konteks program, stratak dan propaganda serangan terhadap kapitelisme itu kan pasti perlu diurai struktur yang menopang sistem ekonomi politik kapitalismenya. Sistem itu bertahan karena ada manusia-manusia yang mempertahankannya. Dalam lapangan peprjuangan yang kita hadapi manusia-masianya yang secara umum dikelompokan sebagai kelas borjuis. Kelas borjui itu sendiri bermacam perannya: kapitalis, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan yang megang senjata. Untuk melawan kapitalisme, kita mengajak rakyat untuk memerangi kapitalisme sama dengan memerangi struktur penopanganyya. Artinya rakyat mesti ngerti apa peran mereka, apa kejahatan mereka. Kapitalisnya menghisap nilai kerja buruh, pemerintahnya ...bla..bla..., lembaga hukumnya bal....bla...termsuk militernya juga. Agar massa rakyat makin faham.
Danial Indrakusuma: Aku jadi ingat kata-kata ibuku setelah Suharto jatuh (kira-kira begini): "Nak, seperti yang kupahami dari buku-buku yang kau baca, terutama tetraloginya Pram, walaupun ke depan belum tentu keadaan (terutama ekonomi) membaik, tapi sekarang kau paling tidak lebih mudah melawan karena dwi-fungsi ABRI semakin berkurang peranannya. Melawan lah, Nak, lebih gencar dan dengan lebih banyak kawan, apalagi bila ada yang mau mengembalikannya ke masa dahulu." Lalu aku jawab (kira-kita begini): "Ya, Mah, kami sekarang lebih mudah melawan--lebih mudah mendirikan organisasi; lebih mudah mengumpulkan kawan-kawan; lebih mudah mengungkapkan prinsip kami." Dan aku dapat hadiah: ciuman.
Badai Selatan: Tidak ada yang membantah struktur penopang kapitalisme seperti yang bung ata sampaikan diatas....perdebatan ini kan bermula dari penekanan lebih terhadap militerisme yang otomatis bagi saya adalah mengurangi tekanan pada sosok sipil nan lugu (jokowi)...bagi saya pengkotak-kotakan militerisme dan non militerisme dapat menjadi dikotomi yang berbahaya....dapat menjebak massa pada satu pilihan yang sama2 "blangsak"...karena dalam propaganda tidak lah dapat menjelaskan seluas pendidikan/diskusi...
Soli Ir: aku rapopo. . .
Ata Bu: Untuk memberikan kesempatan massa rayat mempersiapkan diri mengambial kekuasaan, rakyat mesti : Berorganisasi, diskusi, berkumpul, demonstrasi, rapat akbar, membesarkan organisasi, membangaun dan membesakan ralat politik alternatifnya------- butuh ruang, yang namanya demokrasi. Ketika rezimnya militeristik seperti zaman ORBA., rakyat, gerakan, seberapa besar peluangnya? Ini bukan bahaya esok hari, tapi bisa nyamperin ke rumah-rumah walau kapitalisnya lagi tidur, Bahaya terdekat. Analoginya, dalam tuntutan ekonomi buruh aja ada persoalan darurat yang jadi prioritas, yang pemenuhannyanya mesti segera sebelum massa bubar, yang bukan berarti tuntutan lain tidak diusung.
Badai Selatan: Bukan berarti saya tidak anti militerisme ya.....saya pun anti militerisme...saya tetap pada prinsip perimbangan propaganda....memangnya jika jokowi berkuasa bahaya/potensi kembalinya rezim militeristik tidak ada??
Lah di bekasi aja bupatinya neneng tapi cara yang dipakai untuk meredam gerakan buruh juga lewat cara2 kekerasan kok...jadi siapapun presidennya kelak militerisme adalah keniscayaan ketika gerakan rakyat menguat dan krisis semakin dalam...
Ata Bu: Itu sepakat. Sipil (apalagi kolaborasi dengan militer) pasti nindas. yang sipil tetap kita serang semaksimal-maksimalnya, juga karena militer sedang menguat, militerisme menjadi salah satu issu darurat.
Soli Ir: buka warung angkringan biar bisa nyambung hidup sambil berjuang aja tiap hari di datangin kapolres coba... kan tetep ae selama borjuasi tumbuh subur di bumi ini tidak akan ada demokrasi yg sejati... #tetepihtiarbangunpersatuanperjuangan
Ata Bu: Ketika kebenaran udah diyakini mayoritas massa rakyat, persatuan menjadi tidak signifikan.
Badai Selatan: Tampilnya prabowo menjadi parameter isu darurat ya bung??saya pikir adanya kebijakan represif seperti UU PKS, Ormas, Kamnas... dan yang tak kalah "represif" bagi saya justru ancaman perdagangan bebas asean bung yang akan semakin menggilas tenaga produktif rakyat indonesia....bagaimana caranya menyerang semaksimal maksimalnya kepada sipil yang juga menindas ketika saat bersamaan memberikan penekanan lebih kepada "militerisme"??
okelah saya cukup tau...
Ata Bu: Ya, sepakat. Buruh Aksi di kawasan industri atau aksi pabrik karena di PHK dan upah prosesnya tidak dibayar, yang mengadang langsung direktur IMF dan staf-stafnya. Cemenlah, Tak perlu latihan Bapor.
Kantsasake: Mantablah.... pokoknya hancurkan kapitalisme lah (harapan kami sebagai anak muda yang lahir ditahun 2000an yang tahuya hanya menikmati saja).
Badai Selatan: Wooowww....kesimpulannya ngeri juga bung....saya sih tetap butuh latihan....baik itu pendidikan dasar maupun bapor.....namanya juga masih belajar....
Kantsasake: Badai Selatan, mohon ijin bang Ilyas husein menurut Bang Ilyas Husein kita harus tetap belajar dan bersatu sampai hari kiamat biar tetap kuat. Jadi begitu Badai Selatan termasuk beberapa comments tadi juga bagian dari belajar sayangnya saya baru bisa yimak dulu. InsaALLAH kedepan kita bersama lebih baik, آمين...آمين..آمين... يا رب العالمين
Soli Ir: @ata dan badai selatan, tarik kesimpulan yang tepat pliss, sayang aja pada perdebatannya jadi tidak menarik akibat tidak tepat ambil kesimpulan, kasian para facebookers jd capek baca komennya!!!
Danial Indrakusuma: Jadi ingat kisah Allende di Chile, sudah diingatkan akan bahaya militerisme dan watak sipil militeris bila diberikan kesempatan. Allende menjawab: massa rakyat akan menumpas setuntas-tuntasnya kapitalisme sekalian dengan tentaranya, apalagi kita sudah memegang kekuasaan. Kelompok MIR menjawab: kalau diberi kesempatan, militer akan menguasai sipil atau berkolaborasi dengan sipil yang berwatak militeris atau sipil yang penakut. Apalagi massa belum dipersenjatai. Tugas mendesak kita adalah menandingi, mengeliminir atau setidaknya mengisolasi militer. Allende tak menggubris. Apa jadinya?
Danial Indrakusuma: http://petras.lahaine.org/?p=1978
Badai Selatan: Iya maafkan saya bung Soli Ir....baiklah saya akan istirahat sekarang agar besok bangun pagi untuk kembali belajar dan belajar bagaimana caranya menghajar direktur IMF ketika dia menghadang aksi kami lagi...terima kasih atas pelajaran berharganya malam ini...
Ilyas Hussein: Jadi gini kawan Ata Bu. Kalau bung menghubungkan lampiran berita dan baca utuh status saya kembali Bung pasti akan paham saya ngarahkan status itu kemana? Apakah 1. Ke kawan2x yang sama2x menolak pemilu 2. ke mereka yang malu2x menyatakan menolak pemilu 3.ke mereka2x yang jelas2x bersikap mendukung pemilu dengan masuk dalam ruang2x dukung tokoh populis dengan varian isu untuk mendukung sikap itu yaitu pelanggaran HAM dan militerisme 4. ke mereka yang bahkan berpihak ke pada tokoh militeris itu. Yang pasti saya menujukan status itu ke yang ke 2,3,dan 4. Makanya ada istilah abu2x dan pembelot. (ini penjelasan yang pertama)
Ilyas Hussein: (penjelasan ke dua). Menurut saya propaganda militerisme dan pelanggar HAM adalah isu yang rentan. Kenapa rentan? Karena isu itu dipakai oleh aktivis lsm, reformis2x, kaum sosdem bahkan ada dari kalangan kaum buruh sendiri (ARM) mengangkat isu itu juga. Padahal sama2x kita tahu mereka2x itu mendukung pemilu borjuasi dan lebih jauh dari itu mendukung isu tokoh populis. Lalu pertanyannya apakah salah kita yang menolak pemilu juga mengangkat isu yang sama seperti mereka2x itu? Jawabannya tidak. Cuma akan ada pertanyaan lain adalah apa yang membedakan isu yang sama itu antara yang menolak pemilu dengan mendukung pemilu ? Kl menurut saya pilihanya adalah mendudukan sama bahwa yang militeris, pelanggar HAM,dll itu dengan yang populis. Mereka hanyalah kepanjangan tangan kaum modal untuk terus melakukan perampasan dan penindasan rakyat.
Ilyas Hussein: Saya melihatnya secara nyata porsi ttg pelanggaran HAM dll lebih banyak dibandingkan dengan membelejeti kepalsuan tokoh populis itu. Isu yang tertangkap klo prosi tidak seimbang di mata rakyat adalah bila tokoh populis memimpin maka akan lebih baik dari yang militeris. Padahal perjalanan dari ORBA (militeris), Habibie (sipil), Gus Dur (sipil), Megawati (sipil), SBY (militeris) tidak ada perbedaan sama sekali dalam hal ekonomi dan politik. Semuanya hanya kepanjangan tangan agenda liberalisasi, semua antek modal, dan juga menggunakan cara2 militerisme. Menjelaskan dengan porsi berimbang mengajarkan dan mengenalkan kerakyat siapa sebenarnya musuhnya. Dan juga memperjelsa posisi kita yang menolak pemilu dengan mereka yang mendukung pemilu.
Ilyas Hussein: Jadi ada garis embarkasih yang jelas dan tidak putus2x. Antara kita yang menolak dengan mereka yang abu2x, mendukung, dan berpihak terhadap pemilu borjuasi ini. Garis embarkasih itu penting dalam membangun pondasi alat politik alternatif.menurut pendapat saya. Demikian singkat penjelasannya.
Danial Indrakusuma: Aku hanya bisa mengatakan: beribu meteor, besar dan kecil, yang akan jatuh ke bumi, meteor yang paling dekat ke bumi lah yang paling bahaya; kaum Bolshevik bekerja dengan rejim pemerintah kapitalis musuhnya, hanya karena melihat bahaya nyata militerisme yang semakin menguat (akan mengkudeta rejim pemerintah kapitalis musuhnya Bolshevik).
Ilyas Hussein: Apakah kaum borjuasi dan kaum reaksioner itu sejatinya saat ini di Indonesia paska reformasi itu pisah ranjang? Saya kira tidak. Penolakan dwifungsi ABRI yang dulu diperjuangkan rame itu sejatinya tidak memisahkan hubungan harmonis yang sudah mereka bangun saat ORBA. Itu semua terbukti di lapangan konflik2x yang terjadi di rakyat kan sampai hari ini?Belum lagi kebijakan perundangannya yang dibuat untuk melanggengkan injakan mereka semua ke rakyat. Dalam pemerintahan dan struktur negara mereka hanya ganti2xan peran saja. Sejatinya mereka selalu mesra bergandengan tangan dan tetap satu kesatuan melakukan penindasan dan pengabdi sistem kemodalan. Sama2x menguatkan satu dengan yang lain. Lalu bila ada yang dianggap kaum Bolshevik (yang juga belum kuat itu) ingin berkolaborasi dengan kaum borjuasi agar bercerai dengan kaum reaksioner disaat hubungan yang sangat mesra itu apalah untungnya? Sama saja menyerahkan diri untuk dihancurkan oleh mereka yang masih harmonis dan mesra itu. . Analoginya seperti orang yang coba merusaki rumahtangga orang lain namanya. Bukankah lebih baik terfokus membangun kekuatan sendiri sambil sporadis menggempur dan membongkar hubungan mesra tapi jahat itu dan terus berproses dengan cita2x yang sama yaitu menghancurkan berhala sistem kemodalan sesembahan mereka?
Danial Indrakusuma: Bukan kaum Bolshevik yang hancur, tapi militer yang dipimpin oleh Kornilov yang dihancurkan oleh massa buruh--yang bahkan tadinya bukan anggota Bolshevik. Dan perlu diingat bahwa awalnya Kornilov tadinya bersatu dengan rejim kapitalis Kerensky dan, atas desakan oposisi, setahap demi setahap, Kornilov bisa diisolir sehingga dia dan militernya serta kaum militerisnya kecewa terhadap rejim Kerensky dan mau mengkudetanya. Kerensky bukannya mau memisahkan diri atau mengisolir Kornilov, tapi desakan oposisi lah yang memaksa dia harus memberikan wajah yang kirang militeris--amati juga penjelasan Marx tentang Eighteenth Brumeire. Bagaimana mungkin atau bagaima kita dengan dengan lebih midah mendirikan atau memfokuskan diri pada pendirian organisasi/partai alternatif , juga mengembangkan dan meluaskan wacana politik alernatif, serta melakukan aksi-aksi anti-kalitalis yangblebih militan, bila ada gangguan terhadap demokrasi atau tidak mendorong demokrasi sepenuh-penuhnya. Sudah pasti kami tahu bahwa dwi-fungsi adalah instrumen kapitalis, dan justru karena itu kami menekan kekuatan kapitalis yang bersandar pada dwi-fungsi agar lebih memudahkan pemggalangan kekuatan untuk menekan kapitalisme (walauoun hasilnya tidak maksimal yaitu reformasi dengan penghapusan dwi-fungsi ditunda beberapa lama oleh Ciganjur). Lihat lah fakta sejarah hasilnya terhadap dwi-fungsi, yang sekarang akan dihidupkan dengan cara dan metode lain: menggunakan pamilu. Kami tak bisa abstrak mengatakan kepada rakyat: hancurkan kapitalisme tanpa juga menyebut kongkrit dwi-fungsi. Apakah lebih mudah menghancurkan kapitalisme yang menggunakan senjata dan kekerasan? Dan lihat juga pengalaman Mesir: penjatuhan Mursi tanpa agitasi-propaganda anti-militerisme, malah dicuri militer perlawnan rakyatnya.
Danial Indrakusuma: Kami sadar ini (dibaca-red)
https://m.facebook.com/notes/danial-indrakusuma/masuk-akal-bila-tentara-dan-polisi-itu-brutal-dan-keji/10150543245698538/?refid=21
Danial Indrakusuma: Dan apakah kita percaya bahwa milisia sipil, satgas ormas, preman dll itu bisa merajalela tanpa izin atau pembiaran oleh militer dan polisi? (Masih ingat PAMSWAKRSA yang diorganisir Wiranto dan konco-konco militernya? Atau GIBAS yang menganiaya buruh, yang dewan kehormatannya Prabowo?)
Ilyas Hussein: Apakah mereka, si penganiaya kaum kita itu digerakkan untuk membela kepentingan siapa sebenarnya? Apakah hanya untuk kepentingan jenderal tentara/polisi atau untuk kepentingan kaum borjuasi? Apakah kita percaya dibelakang kaum borjuasi itu tidak berdiri kaum militerisnya? Atau sebaliknya apakah dibelakang si militeris tidak berdiri kaum borjuasinya? Atau klo mau di kecilkan lagi apakah dibelakang preman2x, GIBAS, milisi sipil dll tidak berdiri kaum borjuasi dan militerisnya? Apakah kita percaya tentara/polisi menembaki petani atau ditimur sana menembaki rakyat papua tanpa pemerintahan borjuasi ini tahu? Model begini kan sudah ada dari jaman ORBA yang sangat militeristik sampai reformasi dan saat ini. Apakah Megawati dulu tidak kalah populis dengan Jokowi sekarang? Apakah militerisme tidak dipakai dijaman Mega yang polulis dijamannya? Pertanyaan lagi apakah daerah teritori spt danramil, kodim yang sudah ada dari suharto saat ini sudah tidak ada? Apakah kita percaya bulat2x keberadaannya untuk mengamankan wilayah? Bukankan hal itu untuk menjaga arus modal dan memberangus yang dianggap mengancam kepentingan kaum modal? Apakah pemerintahan borjuasi tidak tahu? Lalu kenapa dibiarkan tetap ada? Klo kita bicara KONDISI DI INDONESIA setiap bicara borjuasi pasti ada militerismenya begitu sebaliknya. Artinya DI INDONESIA ibarat sudah mendarah daging hubungan harmonis borjuasi dengan kaum reaksionernya itu. Lalu apakah kita masih ingin mempertahankan kesadaran rakyat bahwa yang satu lebih baik dari yang lain? Siapapun yang nanti berkuasa apakah dari si populis atau si militeris itu pasti selalu gerakan rakyat ditemukan dengan senjata dan kekerasan karena sistem kemodalan mensahkan cara2 seperti itu. Oleh karenanya 2 kaum jahat itu tidak bisa dipisahkan. . Mempropagandakan bahaya militerisme, si pelanggar HAM dengan kebobrokan borjuasi harus seimbang terlebih dikondisi saat ini dimana 2 isu itu mendominasi. Semua sama pentingnya. Karena itu sama artinya lebih mengenalkan rakyat siapa musuhnya sebenarnya. Menurut saya terjebak dalam salah satu itu sama artinya masuk dalam mainannya mereka. Memangnya kaum modal itu peduli apakah mantan kopasus atau tuan Gubernur yang akan jadi presiden. Sejauh mereka bisa jadi alat mereka untuk terus merampok dan menindas kaum kita dan rakyat siapapun itu akan pakai.
Ata Bu: Udah dijelasin, panjang lebar tanpa sedikitpun meninggalkan serangan pada faksi borjuis lainnya: mau yg sipil, kapitalis, dll.
Sherr Rinn: Vulgar, ya, sudah jelas-jelas lain, tapi disama-samakan.
Sherr Rinn: Penembakan petani memang sudah ada sejak jaman Orba, tapi tingkat represi di jaman Orba jauh lebih tinggi daripada di jaman reformasi. Berkali-kali lipat. Menyamakannya berarti sudah gagal memahami realitas politik.
Danial Indrakusuma: Apa yang dijelaskan Ilyas adalah diktum-diktum dasar kapitalisme, kapitalis dan negara kapitalis. Ya, itu sich aku sudah paham sepaham-pahamnya. Kalau kita ditodong dan diberikan pilihan harta atau nyawa, maka silakan serahkan nyawa karena harga diri dan harta adalah PRINSIPIL. [Itulah kisah Lenin tentang kematian sang pemegang teguh PRINSIPIL yang sekadar menggunakan logika formal, bukan menggunakan logika dialektika (materialis), Dan tak paham tugas mendesak. Silakan, aku undur diri. terima kasih atas diskusinya.
Diskusi terputus...... kita tunggu sambungannya