Inilah kisah María Teresa
hari-harinya yang meletihkan
malam-malamnya yang panjang
ibundanya yang sendirian
dan putranya yang masih muda
inilah kisah tentang kejemuannya
langkah-langkahnya yang pelan
rambutnya yang hitam
senyumnya yang mengembang
dan tangannya yang menua
Inilah kisah dirinya
dengan lebih banyak duka ketimbang suka
dengan tahun yang lebih pendek oleh kesedihan
inilah kisah kepergiannya
perpisahan yang tanpa perpisahan
Inilah kisah tentang bundanya
langkah-langkahnya yang percuma
penantian sunyinya dari penjara ke penjara
dari pengadilan ke pengadilan
dengan bapak-bapak hakim yang tersenyum
dengan tangannya yang hampa
Inilah kisah tentang matanya
yang menatap rambutnya
pandangan jernihnya
dan tangannya yang perkasa
yang hilang jauh lalu
pada subuh yang dingin inilah kisah María Teresa
inilah kisah rakyatku
Roberto sendiri lantas ditembak mati pada 1980. “Tidak mudah menjalani hidup 35 tahun /tatkala maut telah menjadi begitu murahan,” tulis seorang pendidik politik yang bernama samaran Lety dalam puisi “Cumpleaños”. Memang, pembunuhan dan penculikan aktivis begitu mudah dilakukan tanpa pengadilan bahkan tanpa dakwaan atau kesalahan. Atau seperti kata penggalan puisi “Hay dias” karya Jaime Suárez Quemain:
musuh anak-anak tak beratap
berjalan pelan-pelan
ditudungi cahya rembulan
dan menggedor pintu para malaikat
dan membawa pergi mereka, terikat, untuk menggali kubur
di mana kembang-kembang akan mekar subur
Jaime Suárez Quemain (30 th) adalah editor koran independen yang diringkus orang-orang berpakaian sipil saat sedang nongkrong di kafe. Mayatnya yang terpotong-potong ditemukan esok harinya. Sementara José María Cuéllar, yang diberondong senapan mesin di jalanan pada 1981 oleh penembak misterius, menuliskan tentang kesendiriannya dalam “Acabo de partir de mi mismo”:
aku tak peduli bila tak seorang pun mengingatku
kubawa san salvador dalam kantungku
dan mengobrol dengan orang-orang yang tak saling kenal
dan tak mengenalku
aku tak peduli bila pintu berdentam di nikaragua
bila seorang gadis menyatakan cintanya di santiago
bila seekor burung dara mengangkasa di atas yang-tse
bila buku terbaik tengah ditulis di lima
aku tak peduli
aku kosong
sendirian seperti mantel musim dingin
Miguel Huezo Mixco--mantan pengelola Radio yang beruntung masih hidup sampai sekarang—seakan
menuliskan nasibnya sendiri:
bila maut datang mencariku
tolong
beritahu dia untuk kembali esok
sebab aku belum bayar utang
dan merampungkan puisi
…
bila maut datang
tolong beritahu dia bahwa aku tahu
namun sejenak menunggu
sebab belum kukecup selamat tinggal kekasihku
atau berjabat tangan dengan handai taulan
atau mengemocengi buku-bukuku atau menyiulkan tembang kesukaanku
atau berdamai dengan musuh-musuhku
beritahu dia bunuh diri belum kucoba
pun melihat rakyatku merdeka
Melihat rakyatku merdeka... kapankah itu? Delfy Góchez Fernández, gadis muda yang baru berusia 20 tahun, saat dua peluru polisi menembus punggungnya pada Mei, 1979, meyakini bahwa saat itu akan tiba sekalipun ia sudah tiada (dalam “Con gusto moriré”):
dengan pejuang abadi
yang darahnya
mengisi hari
saat itu akan tiba
Jalan yang sungguh panjang untuk mengakhiri penindasan dan membuat perubahan dengan merajut perdamaian. Dan puisi punya peran penting untuk menghapus dendam puluhan tahun itu. Lagi, seperti kata penggalan puisi Jaime Suárez Quemain “De nuevo usted Señor”:
karena syair, Tuan,
juga buat Anda
buat semua orang
ia keluyuran di jalan
mampir di jendela
menggelantung di leher lugu anak-anak
berdenyut dalam sipu
gadis-gadis manis bercelana hot pants
yang Anda bayar dengan harga murah
ia naiki bis
berteman dengan loper koran
dan kaum buruh
dan sekalipun sesekali
sering kali
ia meludahi wajah Anda
syair ingin menebus Anda
mengisi pandangan Anda dengan senyum
menyuntik nadi Anda dengan keramahan
melindungi mimpi Anda dan mengusir
mimpi buruk yang merecoki Anda
syair, Tuan,
ingin mengganti seragam Anda
mencucinya dan
menyuci-hamakannya dengan cuma-cuma sebab sekalipun Anda
mengelak dari kicau burung-burung
Anda, Tuan, Anda…
masih bisa diselamatkan.
tiba pada puisi melalui jalan revolusi. (Roque Dalton)