Oleh : Lenggah Mardiko*
(Sekali lagi tulisan untuk Ilusi Joko Wi)
Pada Juli 2005, The Financial Times, salah satu koran borjuis paling uzur itu menulis: “Skandal korupsi tampaknya akan menunda setiap reformasi lebih lanjut yang mendukung reputasi Mr.Lula da Silva di Wall Street”. Harian bisnis yang berbasis di London tersebut begitu lugas menyandingkan nama Lula da Silva dengan termina “korupsi” dan “Wall Street”. Terdengar tidak merdu di telinga, tak sejuk pula dipandang mata, bila sepasang kosakata haram jadah tersebut terangkai satu kalimat mengiringi figur semacam Lula. Nyatanya sepanjang Mei-Juli di tahun itu, pengagum dan penentang tak ayal kompak dibikin berjingkat. Partindo dos Trabalhadores (PT) alias Partai Buruh tengah terperosok dalam kubangan korupsi. Bukan saja kader partai, menteri dan anggota parlemen-nya yang terseret dakwaan, namun juga sekutu tersayang mereka; para bankir dan pengusaha.
Skandal yang dikenal sebagai Mensalao (pembayaran besar bulanan) mendudukkan PT sebagai pesakitan atas berderet tuduhan. Penggelapan, pencucian uang, korupsi dan penipuan. Sebagian orang sambil menggaruk-garuk kepala mungkin bertanya-tanya. Bukannya Lula da Silva adalah pahlawan klas pekerja Brasil? Tidakkah sosoknya sudah menyerupai Santo bagi kaum papa yang berdempet di kampung-kampung kumuh dari Rio de Jenairo hingga Sao Paulo? Hingga sinar terang Lula itu sempat berkilatan beribu mil jauhnya. Menyeberangi benua, melewati skat bahasa dan melintasi batas kebangsaan. Kemudian datang menyambar dan menyilaukan sepetak kontrakan di wilayah Tebet, Jakarta Selatan. Lalu dalam Kongres partai “kiri” pada awal tahun 2000-an kemenangan Lula ditempatkan sebagai pertanda dari “Return of Populism”. Dan, Budiman Sudjatmiko menjadikannya sebagai nabi baru setelah Mao tak bisa dipakainya sebagai kendaraan menuju Senayan.
Lula da Silva orangnya. Anak keluarga melarat. Cuma sempat mengenyam Sekolah Dasar yang tak pernah tamat. Bersama keluarga ia merantau meninggalkan Garanhuns menuju Guaruja. Menumpangi truk bak terbuka selama hampir dua pekan lamanya. Di usia dua belas tahun, Lula kecil sudah membanting tulang di jalanan. Dua tahun berselang, dia telah berubah status menjadi buruh pabrik baja. Usianya bahkan belum lagi genap dua puluh tahun saat mulai terjun sebagai aktivis serikat buruh. Sampai disini, selengkapnya klik DISINI