TERKINI

Bukan Pemilu, Tetapi Kesejahteraan Rakyat

Pemilu 2014
Saat ini dalam makna formal, Indonesia adalah negara demokrasi. Kenapa formal? Karena demokrasinya adalah demokrasi liberal yang bersifat perwakilan, hanya ditujukan untuk memilih perwakilan setiap lima tahun, tetapi belum bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran politik rakyat agar mulai bertanggung jawab untuk turut mengurus berbagai urusan-urusan kepemerintahan—ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. Dengan kata lain demokrasi perwakilan ini membiarkan rakyat pasif—seperti politik massa mengambang—atau mengkanalisasi kesadaran politik rakyat sebatas kekuatan pengontrol di dalam wadah-wadah perwakilan.

Sejatinya demokrasi mensyaratkan partisipasi rakyat secara langsung dalam setiap level dan sector kebijakan sehingga kebijakan yang lahir adalah kebiakan yang betul-betul sesuai dengan kebutuhan mendesak rakyat dan terawasi dalam pelaksanaannya.

Dalam demokrasi liberal, partai politik adalah alat untuk menjalankan mekanisme perwakilan dalam pemilihan umum. Artinya, partai politik menjadi instrument yang sangat menentukan dalam proses kebijakan. Yang harusnya dalam konteks ke Indonesiaan hal ini harusnya sudah dapat mendorong upaya-upaya pensejahteraan rakyat karena demokrasi mengisyaratkan kesejahteraan seluruh umat sebagai tujuan. Tetapi yang terjadi mala sebaliknya masyarakat Indonesia malah semakin dihancurkan tenaga produktifnya, kenapa? Karena seluruh partai politik yang ada dalam parlemen kita termasuk dalam jajaran eksekutif adalah kaki tangan modal asing yang mengamini setiap keinginan tuan-tuanya dari Negara-negara imperialis barat untuk mengeksploitasi setiap sumber daya yang dimiliki bangsa ini.

.Pasca krisis 1997 yang menuai perlawanan sehingga berujung pada lengsernya rezim otoriter Suharto, rezim kita secara aktif mengikuti resep IMF lewat Structural Adjustment Program (SAP) yang disahkan lewat penandatanganan Letter of Intent (LoI) pada era kepemimpinan Mega-Hamzah yang isinya adalah pencabutan subsidi, rekapitulasi perbankan, privatisasi, dan liberalisasi pasar (paket kebijakan neoliberalisme) yang sampai hari ini paket kebijakan ini terus dijalankan oleh rezim SBY-JK yang juga didukung oleh seluruh partai politik yang ada dalam parlemen. Kalaupun ada yang bersuara berbeda ini hanyalah program populisme semata karena tidak berani menyatakan melawan kebijakan noeliberal yang menjadi sumber kemiskinan dinegeri ini. Terbukti dengan rengkingisasi yang dikeluarkan oleh Standard of Poor (sebuah lembaga internasional yang mengawasi hutang negara dunia ketiga) yang menempatkan indonesia pada urutan kedua setela turki sebagai negara paling taat terhadap IMF dengan indikator resiko ekonomi dan resiko politik yan dapat dilihat dari capacity to pay and willieng to pay

Neoliberalisme yang Memanen Kemiskinan
Resep kebijakan neoliberalisme ini dianggap oleh ekonom-ekonom neoliberal sebagai kebijakan yang paling ampuh dalam membangun perekonomian di negara-negara berkembang. Yang memang paling ampuh dalam mengakumulasi kekayaan di seluruh dunia untuk masuk ke kantong orang-orang terkaya pemilik modal di negara-negara maju dan di sisi lain berhasil menyebabkan 3 milyar orang didunia hidup kurang dari $2 perhari (UNFPA, 2006). Dan akhirnya, kepintaran ekonom-ekonom neoliberal seakan tak berdaya di hadapan realitas krisis, hasil dari kegagalan kapitalisme itu sendiri.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa, emas; batubara; gas; minyak, karet, sawit; intan, timah, perca (bahan serat optik), besi, baja, tembaga, plutonium, uranium dan kuantitas sumber daya manusia yang mencapai 230 jt jiwa. Sehingga tak ada syarat-syarat material bagi Indonesia untuk menjadi negeri yang miskin, yang menurut Bank Dunia angka kemiskinan mencapai 49% (WB, 2006), yang karena antrian sembako rakyatnya harus mati terinjak-injak, yang karena mahalnya biaya hidup rakyatnya harus mencuri, berprostitusi atau praktik amoral menurut penilaian elit-elit politik yang lucu syarat-syarat terjadinya praktik tidak bermoral itu, yaitu kemiskinan diciptakan oleh mereka sendiri. Sesungguhnya inilah wajah dari negeri kaya yang menjadi budak dinegeri sendiri karena elitnya menjual seluruh sumber kekeyaannya untuk dikeruk, dibawa dan dinikmati oleh negara-negara maju.

Berbagai kebijakan pencabutan subsidi pendidikan, kesehatan, BBM, listrik, penjualan aset nasional, perdagangan bebas telah menciptakan tingkat pengangguran yang tinggi; kebangkrutan industri ruma tangga; kenaikan harga kebutuhan pokok; mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan; penggusuran PKL, dan tanah rakyat ; trafficking (penjualan perempuan dan anak); busung lapar; tingginya angka kematian anak dan ibu. Kemiskinan yang sudah telanjang di depan mata ini masih saja ingin diingkari oleh pemerintah dengan mengkonversi kemiskinan ke dalam angka-angka yang validitasnya sendiri masih diragukan oleh berbagai pihak (bentuk lain dari korporatokrasi).

Kemiskinan yang diciptakan oleh rezim, semakin diperparah dengan terpaan krisis global. Kenaikan harga-harga secara umum membuktikan sistem ekonomi Indonesia tidak dibangun di atas dasar kemandirian (60% masih bergantung impor). Inilah hasil dari liberalisasi. Kondisi ini dijawab oleh rezim SBY-JK dengan SKB 4 Menteri yang bertujuan memberikan kenyamanan investor untuk mengurangi krisis. Logika ini salah, karena menghapuskan Upah Minimum Propinsi serta berusaha menghilangkan peran negara dalam penyelesaian konflik antar buruh dan majikan sama halnya dengan menurunkan daya beli kaum buruh. Penurunan daya beli justru akan semakin memperparah krisis. Jelaslah keberpihakan rezim kepada siapa. Maka kebijakan kenaikan suku bunga, buy back, bailout adalah sekedar upaya mengamankan harga saham di bursa yang mengeruk devisa negara sehingga nilai tukar rupiah melemah.

Sesungguhnya, serangkaian kebijakan neoliberal yang hanya menghasilkan kemiskinan dan krisis adalah warning akan terjadinya krisis yang lebih mendalam lagi, semisal yang pernah terjadi di Meksiko (tequila effect) pada tahun 1994. Meksiko yang telah mempraktekkan kebijakan neolib sejak awal tahun 80-an mengalami kekosongan kas negara (default) pada tahun 1994 sehingga tidak mampu menggaji PNSnya dan menuai gelombang protes rakyat.

Janji Kesejahteraan, Tak Lebih dari Jualan
Ketika deraan kemiskinan begitu terasa di massa rakyat, elit-elit politik menjadikan janji-janji kesejahteraan sebagai barang dagangan pemilu 2009. Seperti yang sudah-sudah, janji-janji ini pasti bermuara pada omong kosong. Tak perlu tesis yang begitu rumit untuk membuktikannya. Pertama, para peserta pemilu 2009 adalah wajah-wajah lama yang sudah terbukti gagal. Mereka ini adalah sisa orde baru, reformis gadungan dan paramiliter. Meski ada parpol-parpol baru bermunculan, merupakan pecahan dari parpol lama yang elit-elit politiknya tidak diakomodir kepentingan kekuasaannya pada parpol yang sebelumnya yang kesemuanya terbukti gagal mensejahterakan karena telah kebagian memimpin atau menjadi bagian dari kekuasaan pengambil kebijakan. Selain itu, tak ada flatform program yang jelas yang merupakan antitesis dari praktik kebijakan neolib. Pemilu 2009 ini, justru banyak dijadikan proyek “cuci tangan” dosa-dosa para elit-elit politik di masa lalu.

Kedua, dengan syarat-syarat kebijakan neolib yang diamini oleh seluruh partai politik yang ada tidak mungkin ada kesejahteraan. Bergantinya kepemimpinan, hanya mengganti tokoh-tokohnya saja tetapi tidak mengganti sistem kebijakannya yang pro modal asing. Pertanyaannya, adakah elit-elit politik saat ini yang ikut Pemilu mampu menolak kebijakan neolib?? Tidak ada karena tidak ada satupun parpol saat ini yang membasis berdasarkan program tersebut.

Rakyat juga mulai tidak percaya dengan Pemilu ditunjukkan dengan angka golput 30% pada Pemilu 2004 dan tingginya angka golput di daerah-daerah dalam Pilkada contoh kasus pilkada donggala yang jumlah golputnya hampir 22%. Argumen bahwa golput terjadi karena kesalahan teknis semisal kerusakan/kurangnya kertas suara dan sebagainya sulit untuk diterima mengingat kemajuan teknologi informasi saat ini. Sehingga dapat dipastikan di tengah kondisi pengkhianatan elit-elit politik dengan memangkas hak rakyat atas kesejahteraannya selama ini akan meningkatkan angka golput.

Sementara itu, unsur-unsur gerakan gerakan rakyat yang telah terkooptasi dengan memilih bergabung bersama reformis gadungan merasa percaya ini akan menjadi taktik untuk membebaskan rakyat. Yah...taktik penghianatan diakibatkan karena tidak sabar. Seakan mereka ini Superman, padahal jelas-jelas hanya rakyat yang sadar dan terpimpin yang bisa membebaskan dirinya sendiri karena tak ada referensi dalam sejarah manapun kompromi penelanjangan diri semacam ini akan berhasil.

Bukan Pemilu, tapi Persatuan Rakyat
Ditengah-tengah hiruk pikuk pembicaraan tentang pemilu yang melanda rakyat Indonesia, perlu dipertegas untuk dipahami bahwa ada atau tidak ada Pemilu tetap tidak akan membawa perubahan yang signifikan bagi rakyat, karena pemilu hanya menjdi ajang kepentingan segelintir elit untuk tetap mempertahankan dominasi ekonomi politik dinegeri ini yang sudah tentu tidak akan menyelesaikan problem mendasr bangsa ini yaitu kemiskinan. Sebagai antitesa, Maka yang perlu dilakukan adalah upaya yang lebih bermanfaat, potensial, revolusioner untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat dalam bentuk pembangunan alat-alat persatuan dengan menetapkan neoliberalisme bersama antek-anteknya dalam negeri sebagai musu bersama rakyatIndonesia.

Persatuan yang luas sangatlah penting bagi perjuangan pembebasan rakyat dari segala bentuk dominasi. Kemerdekaan 45 bisa direbut dengan penetapan terhadap musuh bersama rakyat, yaitu kolonialisme. Karena penggalangan persatuan harus ditujukan untuk menghadapi musuh bersama, yaitu penjajahan gaya baru (neoliberalisme) yang telah membuahkan praktek pemiskinan, ketidakadilan dan dominasi ekonomi politik terhadap mayoritas rakyat di negeri ini yang tentunya dengan program yang secara langsung menusuk jantung kapitalisme itu sendiri.

Untuk itu, Komite Persatuan Rakyat Miskin – Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD) Sulawesi Tengah menyatakan sikap dengan tegas dan menyeruhkan pentingnya persatuan rakyat tertindas dengan program-program kerakyatan yang anti-neolib serta menolak segala bentuk kooptasi dan kooperasi dengan sisa-sisa orde baru, reformis gadungan, dan para militer yang menjadi antek neoliberal di negeri ini.

Ditulis oleh: Jeniarto Mbayang, penulis adalah Ketua Komite Politik Rakyat Miskin – Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD) Sulawesi Tengah
Opini pernah dimuat dalam SKH Garda Sulteng edisi 25 November 2008 dan SKH Mercusuar edisi 27 November 2008
Diternitkan ulang dari Pembebasan untuk pendidikan

Copyright © 2014 KomitePolitikAlternatif Designed by Templateism.com IT CREATIVE MFiles

Theme images by konradlew. Powered by Blogger.