Tidak adanya kepercayaan rakyat kepada elite politik dan para pemimpin, baik di eksekutif maupun legislatif, akan mendorong masyarakat apriori, termasuk dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014. Rakyat diprediksi banyak yang tidak akan menggunakan hak pilihnya alias golput, bahkan bisa jadi golput akan menang.
“Kepercayaan rakyat terhadap elite politik hampir mencapai titik nadir. Ini karena para pemimpin tidak lagi berpihak kepada rakyat. Akibatnya, rakyat apriori. Golput akan meningkat, bahkan bisa jadi menjadi pemenang pada 2014, baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden,” ungkap pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta, Arbi Sanit menjawab Dialog di Jakarta, kemarin.
Saat ini, kata Arbi, rakyat dalam kondisi sengsara, namun para pemimpin seakan tak pernah hadir di tengah-tengah mereka. Ketika rakyat dihajar kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta menjelang Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri 1434 H, misalnya daging sapi sampai Rp115.000 per kilogram (kg), bahkan cabai rawit merah sampai Rp100.000 per kg, ternyata para pemimpin tidak bisa cepat bertindak. “Respons pemerintah selalu terlambat, sementara rakyat terlanjur menderita,” ujarnya.
Pasca-Lebaran nanti, lanjut Arbi, masyarakat juga akan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan baru, misalnya rencana kenaikan harga liquid petroleum gas (LPG) atau elpiji tabung kapasitas 12 kg, meskipun masih terjadi tarik-ulur antara Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. “Bila harga elpiji jadi naik, beban masyarakat akan bertambah berat,” tukasnya.
DPR yang diharapkan menjadi pembela rakyat, dinilai Arbi justru menjadi semacam lembaga stempel bagi pemerintah, termasuk terhadap kenijakan-kebijakan yang melukai hati rakyat, dengan adanya Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah yang dimotori Partai Demokrat. Tidak itu saja, perilaku para anggota DPR juga mengecewakan, misalnya bermewah-mewah di tengah kemiskinan rakyat. “Kekecewaan itu akan terakumulasi dan rakyat menemukan momentum pembalasan pada Pemilu 2014. Angka golput akan meningkat,” tegasnya.
Arbi lalu membeberkan data yang menunjukkan kecenderungan naiknya angka golput serta menurunnya partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu dan dari pilpres ke pilpres.
Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 93,33%, Pemilu 2004 turun menjadi 84,9%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99%. Pemilu 2014, diprediksi hanya tinggal 54%, namun prediksi optimis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) masih pada angka 60%. Di pihak lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan tingkat partisipasi pemilih 75% sesuai target pembangunan. Dari sekitar 236 juta penduduk Indonesia, kemungkinan calon pemilih Pemilu 2014 adalah 191 juta orang.
Angka golput juga terus meningkat. Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%, dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%. Bandingkan dengan angka golput pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) yang tak pernah lebih dari 10%.
Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3% (angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput pemilukada rata-rata 27,9%. “Bila mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu digabungkan dengan golput, bisa jadi mereka akan menang pada 2014,” tandas Arbi.