PEMILU 2014 tak bisa dipandang hanya sekedar agenda rutin lima-tahunan. Tapi setiap periodenya, mempunyai kondisi materi dan ciri khas-nya sendiri. Elektoral demokratis paska Orde Baru (1999, 2004 dan 2009) ditandai dengan angka Golput yang terus naik setiap periodenya dengan cukup signifikan. Data dari Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) pada tanggal 6 Februari, 2004, jumlah populasi yang punya hak pilih adalah 147.216.531 dari jumlah populasi 215.631.379. Tingkat abstensi terhadap PEMILU terus mengalami kenaikan signifikan sejak Orde Baru tumbang. Hasil pemilu 1999 menunjukkan tingkat abstensi 10,2%, lalu naik ke 22,9% pada tahun 2004. Pada pemilu 2009, Partai Demokratnya SBY tampil sebagai pemenang. Dengan KPU yang mendaftar 171 juta orang yang memiliki hak pilih tetapi hanya 105 juta suara yang terhitung, tingkat abstensi kali ini sangatlah besar, 38,6%.
Golput bisa dimaknai suatu kondisi, bahwa rakyat ada dalam fase jenuh politik. Ada akumulasi kekecewaan yang berubah menjadi gerakan apatisme secara luas. Pertama, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpin terpilih sebelumnya, dalam implementasinya jarang sekali mampu mengakomodir kepentingan rakyat. Kedua, media-media setiap hari mempertontonkan skandal-skandal (KKN, seks, konspirasi, dsb) para pejabat perangkat negara, yang bertentangan dengan moral rakyat. Ketiga, belum ada pemimpin alternatif yang bisa menunjukkan watak kerakyatannya diluar jargon-jargon kampanye.
Sosok Jokowi-Ahok menjadi begitu fenomenal dua tahun belakangan ini. Figurnya dicitrakan bak juru selamat karena gaya “blusukan”-nya dianggap mampu mendengar aspirasi rakyat lebih baik. Hasil survei terkait figur politik yang paling populer menempatkan Jokowi di posisi pertama (32,4%), mengalahkan Prabowo (8,2%), Wiranto (6,7%), Dahlan Iskan (6,3%), Megawati (6,1%), Bakrie (3,3%) dan sejumlah tokoh elit lainnya. Persepsi masyarakat, dialah salah satu dari sejumlah kecil pemimpin elit yang tidak tuli. Sebagian golongan begitu meng-elu-elukan Jokowi, adalah suatu konsekuensi logis dari pembusukan politik yang terjadi hari ini.
Kehadiran Jokowi mirip dengan kemunculan sosok Obama yang juga punya beberapa kebijakan populis. Jika Obama datang dengan membawa obat Obamacare, Jokowi datang membawa hal serupa yaitu Jakarta Sehat. Apalagi gaya blusukan ke kampung-kampung dan ke kampus-kampus sudah banyak diadopsi oleh figur elit lainnya, seperti Dahlan Iskan, Rieke DP, dan lainnya untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Namun figur-figur itu bukanlah juru selamat sejati, sebab mereka tidak lahir, tidak besar dan tidak memilih jalan perjuangan kelas. Penangguhan upah buruh menjadi salah satu potret jelas, akan kemana arah keberpihakan figur elit populis itu. Di masa depan, publik akan segera sadar, bahwa banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan Jokowi. Strategi “mendamaikan” ala Jokowi akan jadi sia-sia, di saat kontradiksi antara ego akumulatif pemodal dengan kaum buruh makin tajam. Karena sejatinya, kontradiksi keduanya tak dapat didamaikan.
Kolaborasi Borjuasi dan Cipayung Plus
Dominasi politik borjuis tak selamanya mendapat dukungan penuh dari rakyat. Kehadiran golongan putih di pentas politik elit beberapa periode silam cukup memberikan para borjuis sebuah pelajaran penting, bahwa jargon kerakyatan pun tak cukup. Terjadi evolusi strategi yang dipakai untuk menggalang dukungan rakyat saat ini. Salah satunya dengan membuat kantong-kantong massa, yaitu ormas-ormas dadakan sebagai corong sekaligus wadah menampung suara di beberapa sektor rakyat, dengan persebaran di beberapa kampus, kampung dan pabrik yang dianggap titik strategis.
Pabrik-pabrik menjadi sasaran utama. Beberapa partai politik elit sengaja membuat ormas buruh dadakan yang bisa meraup lumbung suaranya. Bahkan, beberapa parpol mengiming-iming para figur serikat buruh untuk bergabung “nyaleg” bersama-sama golongan elit lainnya. Universitas, pun tak kalah dilahap. Sistem politik dan pendidikan di Indonesia telah menyuburkan watak oportunisme dan pragmatisme akut di kalangan mahasiswa. Faktanya beberapa konsolidasi-konsolidasi politik antar lembaga ekstra maupun intra sangat rawan di beli oleh elit borjuis. Hadirnya Cipayung Plus, yang terdiri dari beberapa organisasi mahasiswa secara tegas menyatakan dukungannya kepada PEMILU 2014 dalam Petisi 9.
Jalan “Kolaborasi Borjuasi” yang dipilih oleh para pimpinan beberapa ormas tersebut, justru makin memperkeruh pembusukan politik di Indonesia. Sebab, disaat kontradiksi sosial ekonomi masyarakat semakin keras dan represif, justru mereka (pimpinan ormas) menyerukan untuk mendukung PEMILU dan memilih calon penguasa parlemen yang tidak pernah bertindak representatif terhadap kepentingan rakyat. Jalan kolaborasi atau bekerja di dalam "kandang yang kotor" adalah praktik impoten ideologi-politik. Logika paling sederhananya : jalan politik praktis dan kolaborasi yang dipilih oleh gerakan yang mengaku paling revolusioner hingga gerakan reformis paska Orde Baru, hanya menghasilkan liberalisasi ekonomi-sosial besar-besaran dan represifitas gerakan rakyat yang semakin anarkis (mulusnya UU Ormas dan RUU Kamnas). Ketidaksabaran dan pilihan jalan kolaborasi borjuis justru mengakibatkan perpecahan dan impoten ideologi politik.
Kemana Kiblat Kita?
Pada kenyataannya rakyat dan kaum buruh hari ini memang belum memiliki alat politiknya sendiri. Di satu sisi ruang kolaborasi politik yang ditawarkan elit borjuasi menjadi arena yang cukup menarik, dan menjadi ilusi harapan : bahwa parlemen borjuis bisa menjawab perbaikan nasib rakyat, padahal tidak. Namun di sisi lain, situasi Indonesia sedang berada pada krisis kepemimpinan proletariat.
Banyak faktor dan banyak versi untuk mendeskripsikan krisis tersebut. Faktor perpecahan internal karena perbedaan memandang siapa musuh bersama, hingga mutasi isu rakyat yang terus berkembang seiring membanjirnya wacana-wacana post marxist menjadikan gerakan terilusi dari tugas pokok yang harus dijawab. Perbedaan strategi-taktik pun menjadi perdebatan lama satu dekade ini. Lalu kemana kita berkiblat ?
Pilihan pertama, menyepakati jalan kolaborasi borjuis dan memupuk pembusukan politik Indonesia. Lalu menjadi bagian dari sekumpulan elit pengilusi kesadaran rakyat. Konsekuensinya, memilih jalur kompromi, berarti membelokkan arah perjuangan kelas terhadap kontradiksi pokok. Padahal, krisis kapitalisme dan kebobrokan elit borjuasi seharusnya menjadi peluang untuk memperdalam kesadaran politik rakyat akan kebutuhan suatu kepemimpinan revolusioner, di saat gejolak sosial ekonomi makin dalam.
Pilihan kedua, kembali ke basis rakyat dan menjelaskan sejujur-jujurnya, bahwa kolaborasi kapitalisme-elit borjuis-oknum intelektual yang mendukungnya : adalah musuh revolusi. Satu-satunya kekuatan yang bisa memenuhi kepentingan rakyat, hanya rakyat itu sendiri. Riak-riak perlawanan dari ujung barat hingga ujung timur nusantara, harus diorganisir oleh serikat-serikat revolusioner yang punya kesabaran dalam mengarahkan perlawanan rakyat. Agar mereka memiliki kesadaran dan perspektif politik revolusioner. Serikat-serikat yang sabar membudayakan kembali kolektifitas membangun demokrasi, kolektifitas ekonomi-sosial dan budaya, serta prasyarat-prasyarat lainnya dalam membangun sosialisme sejati. Tak cukup sampai di situ, perjuangan harus dikualitaskan dengan membuat alat politik alternatif, yaitu gabungan dari serikat-serikat rakyat yang punya sikap dan demarkasi tegas menolak terhadap kolaborasi kaum pro kapitalisme dan mempunyai program minimum untuk melawan dominasi politik-ekonomi pemodal. Ini fase yang terus-menerus menjadi arena uji bagi dialektika lahirnya kepemimpinan revolusioner di Indonesia.
Pilihan ketiga, golongan pasifis yang tidak bersepakat pada dua pilihan diatas. Faktanya, golongan ini yang menjadi representasi mayoritas kesadaran massa hari ini, yaitu kesadaran apatis. Golongan ini merupakan kaum-kaum pasifis penitip nasib. Di satu masa, ketika kekuatan kapitalisme yang mendominasi, golongan ini secara tidak langsung akan menjadi peng-“iya” praktik eksploitatif kapitalis. Di masa lain, ketika bangkit kekuatan kelas proletar, golongan ini akan terombang-ambing. Penganut pasifisme lebih dekat dengan karakter dari demokrasi borjuis. Kritiknya hanya menyentuh permukaan fenomena sosial saja. Mereka tidak punya keberanian untuk memotong lebih dalam ke fakta-fakta ekonomi-politik yang menjadi dasar persoalan rakyat.
Lalu, kemana kita berkiblat?
Sekali lagi, tugas kita adalah membangun kepemimpinan revolusioner. Mari berkaca dari praktik apa yang sudah kita lakukan sejauh ini untuk mempersiapkan prasyaratNYA : disiplin baja, analisa situasi secara cermat, strategi-taktik yang tepat, serta kesabaran. Gerakan harus mampu menjernihkan sikap dari pilihan-pilihan reformisme yang menjangkiti pemikiran beberapa gerakan buruh maupun intelektual. Menebarkan keyakinan bahwa revolusi hanya dapat dicapai dengan prinsip demarkasi tegas menolak kolaborasi politik elit borjuasi. Pengorganisiran buruh dan kaum muda harus terus dilakukan. Gagasan revolusioner harus terus disebarkan kepada massa luas, seluas-luasnya agar tidak terjadi keraguan dari gerakan, tentang jalan revolusi sejati. Jika kita tidak belajar dari kesalahan dan tindakan-tindakan yang tidak disiplin bahkan termutasi dari pokok perjuangan kelas, maka akan makin panjang perjuangan pembebasan.
Yogyakarta, 3 Februari 2014
Penulis: Nunung Palupi Lestari. Pengurus Pusat SMI