TERKINI

Militerisme dan Anti Militerisme - Karl Liebknecht

Artikel
Militerisme

Pengantar
Tulisan ini dibuat dengan tidak sengaja, idenya muncul setelah melihat status FB bung Carlos Patriawan (Trwn Rloz) yaitu: Kalau kata Bung Hatta dan Bung Sjahrir dulu :"Jangan pernah kasih kekuasaan kepada Militer, karena militer gak tahu apa apa soal mengembangkan ekonomi negara dan kesejahteran rakyat " ....... Nah sekarang 40 tahun diperintah militer inilah hasilnya............".

Setelah membaca status itu penulis jadi teringat sebuah buku yang berjudul Militerisme dan Anti Militerisme (http://www.marxists.org/archive/liebknecht-k/works/1907/militarism-antimilitarism/index.htm) karangan Karl Liebknecht maka dengan segera buku lama itu segera di buka-buka dan dibaca kembali lalu penulis berusaha mengintisarikannya.

Sekitar 12 tahun yang lalu penulis hanya beranggapan bahwa rezim militer suharto itu muncul akibat dari kudeta yang berhasil untuk menggulingkan Presiden Sukarno sehingga setelah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun semakin memantapkan kekuasaan militer terutama kekuasaan AD, padahal hakikat dari kudeta tersebut adalah memantapkan kekuasaan kaum pemodal internasional di Indonesia dan menjauhkan Indonesia dari pelukan blok "Sosialis" (USSR & China) pada saat itu.

Berjalan seiring waktu penulis baru paham bahwa hakikat militerisme di Indonesia itu tidak cuma sekedar kekuasaan militer di sendi-sendi kehidupan masyarakat atau tau dan tidaknya militer mengembangkan ekonomi negara dan kesejahteraan Rakyat seperti kata Hatta dan Sjahrir tapi fungsi militerisme itu sebetulnya adalah anjing penjaga kaum modal atau kaki tangannya pemodal dan tugasnya yang terbesar, terpokok dan paling sakral adalah melindungi profit/keuntungan kelas pemodal/pengusaha lokal dan internasional. Rasanya tidak mungkin menulis dengan lengkap dan detail di FB mengenai apa itu militerisme dan bagaimana kiprahnya di Indonesia dalam bidang ekonomi dan politik selama kurang lebih 45 tahun terakhir ini karena itu butuh suatu kajian tersendiri.

Maka dengan serba kekurangannya artikel pendek ini berhasil juga diselesaikan dan disajikan kepada pembaca ramai mudah-mudahan bisa menambah khazanah pengetahuan dalam berpraktek pada musim periode berjuang sekarang ini !
--------------------------------------------------------------------------------------------

Tak ada topi Gessler** yang pernah menemui kepatuhan yang memperbudak dan mempermalukan diri serupa topi milik sang termahsyur Kapten dari Kopenick. Tak ada jubah sacral Trier yang pernah disembah-sembah seperti seragam yang dikenakan tukang sepatu itu.

Satir klasik ini, yang kehebatan pengaruhnya merongrong prinsip pendidikan militer hingga riwayatnya terancam, seharusnya dapat mengakhiri riwayat militerisme hingga jadi bahan tertawaan sedunia. Tapi masyarakat borjuis (yang tiba-tiba memainkan peran unik sebagai penyihir pemula, yang memanggil roh-roh tapi tidak mampu mengusirnya), begitu erat bergantung pada militerisme seperti halnya roti yang kita makan dan udara yang kita hirup. Konflik yang tragis!! Kapitalisme dan kacung besarnya militerisme, tak lagi saling mencintai; malah mereka saling takut dan benci satu sama lain, dan memang hal itu beralasan. Mereka memandangnya (sinis): begitu mandiri kacung ini jadinya. Dan berusaha bertoleransi: militerisme sebagai kejahatan yang dimaklumkan (necessary evil).

Tentara Sebagai Senjata Untuk Melawan Buruh Dalam Perjuangan Ekonomi
Kita telah menyaksikan bagaimana peranan militerisme dalam kenyataannya telah menjadi poros yang semakin memutar kehidupan politik, social dan ekonomi kita, yakni sebagai tangan yang memainkan tali temali boneka marionette dalam sandiwara-boneka kapitalis. Kita telah menyaksikan tujuan apa yang coba diraih oleh militerisme, bagaimana ia mencoba mencapai tujuan ini dan bagaimana proses pencapaiannya, ia secara fisik terpaksa menghasilkan racun yang akan membawa kematiannya. Kita juga telah membahas peran penting yang dimainkannya - sayang sekali!! Dengan tak sukses – sebagai sekolah untuk menanamkan ide-ide militeris kepada mereka yang berseragam dan Rakyat sipil. Tapi militerisme tak puas dengan semua ini. Bahkan kini, dimasa damai, ia menanamkan pengaruhnya keberbagai arah untuk mempertahankan Negara dan mempersiapkan diri menghadapi kedatangan suatu hari dimana Rakyat akan bangkit dengan berani untuk berontak melawan penguasa - hari penebusan akbar.

Pada hari itu – (dan para tukang pukulnya sesungguhnya lebih memilih kedatangannya sekarang, sebab mereka lebih yakin kan mampu mengubahnya jadi pembantaian Sosial Demokrasi) - mereka akan menembak, membunuh, menumpas hingga isi-isi hati, demi (dengan bantuan Tuhan) menyelamatkan Raja dan Tanah Air. Sebagai contoh ideal modelnya, mereka akan mengambil 22 Januari 1905 (revolusi di Rusia yang memaksa tsar membuat Duma - semacam Parlemen) dan minggu Mei berdarah tahun 1871 (penghancuran komune Paris). Schonfeldt, pimpinan korps Wina (Vienna), mengambil sumpah berikut didepan para borjuis saat perjamuan makan bulan April 1904: “Yakinlah, kami akan selalu berada dibelakang Anda saat keberadaan masyarakat dan dan penikmatan hak-milik yang diraih dengan susah payah berada dibawah ancaman. Saat borjuis berdiri digaris depan, prajurit segera datang membantu!!”. Maka kepalan tangan besi selalu teracung, siap mengayunkan pukulan dahsyat.

Dengan munafik mereka berbicara “mengamankan hukum dan ketertiban” atau “melindungi kebebasan bekerja,” padahal yang dimaksud adalah “mengamankan penindasan” dan “melindungi eksploitasi”. Bila Buruh dirasa menunjukkan semangat dan kekuatan yang meresahkan, militerisme segera menggemerincingkan pedangnya, mencoba menakut-nakuti agar mundur. Kekuatan militerisme yang ada dimana-mana (omnipresent) dan maha kuasa (almighty) - berdiri dibelakang setiap tindakan yang diambil kekuatan Negara dalam memerangi para pekerja; dan dalam saat-saat yang menentukan akan mengeluarkan pukulan utamanya – tidak berdiam diri dibalik layar (background), dibelakang polisi dan polisi semi militer, namun dipersiapkan untuk menjalankan tugas sehari-hari, untuk memperkokoh pilar-pilar tatanan kapitalis dalam suatu perang gerilya berkelanjutan. Keberagaman aktivitas inilah yang mencirikan sifat militerisme kapitalis, ahli merekayasa.

Militerisme sangat memahami bahwa sebagai kaki tangannya kapitalisme, tugasnya yang terbesar, terpokok dan paling sacral adalah melindungi profit/keuntungan kelas pengusaha. Maka dirasakanlah dirinya yang berwenang (dan bahkan diwajibkan untuk menempatkan prajurit secara resmi maupun tak resmi sebagai binatang pemikul beban untuk melindungi kelas penindas dan terutama para junker (kaum bangsawan Jerman/Tuan Tanah).

Prajurit diberikan cuti untuk memanen – suatu praktek yang merugikan dan membahayakan kepentingan Buruh, seperti halnya system prajurit – kacung yang memungkinkan atasan memperlakukan bawahan layaknya pesuruh atau kacung. Hal tersebut mengungkapkan segala tipu-daya dan kepura-puraan bodoh dari argument para maniak pebaris-berbaris dan gemar parade upacara (parade drill) yang selalu berusaha menunjukkan kebutuhan militer murni untuk penugasan militer jangka panjang.
Dalam banyak kasus, kantor pos dan manajemen kereta api secara musiman dan temporer mempekerjakan prajurit disaat lalu-lintas sibuk. Kasus-kasus tersebut mesti disebutkan walaupun maknanya lebih rumit.

Militerisme terjun langsung menghadapi perjuangan pembebasan buruh dengan menggunakan prajurit sebagai pengganti buruh yang mogok (blackleg) dibawah komando militer. Berhubung dengan ini, kita dapat mengingat suatu kasus (yang baru-baru ini kembali dibawa kepermukaan, tentang letnan jendral Von Liebert*** – saat ini pimpinan Liga Kekaisaran memfitnah Sosial Demokrasi) – ketika seorang colonel sederhana ditahun 1896 telah menyimpulkan bahwa pemogokan merupakan malapetaka bagi khalayak umum (public) seperti halnya bencana kebakaran atau banjir.. itu artinya: malapetaka bagi kelas pengusaha yang malaikat penjaganya dan tukang pelaksananya menurut Von Liebert adalah dirinya sendiri.

Di Jerman digunakan suatu metode yang sangat terkenal kebusukannya, yakni mendorong orang-orang yang dibebaskan dari tugas militer masuk kedalam jajaran penghancur-mogok-kerja, suatu metode yang dipraktekkan sejak musim panas 1906 saat pemogokan Neremberg. Jauh lebih penting lagi adalah tiga peristiwa yang terjadi di luar Jerman:

Pertama, upaya militer untuk menggagalkan pemogokan umum buruh kereta api bulan januari 1903. Kelanjutan dari episode ini para buruh kereta api yang mogok dicabut hak-nya untuk membentuk serikat buruh****.

Kedua adalah pemogokan umum buruh kereta api di hunggaria tahun 1904, pada saat peristiwa tersebut administrasi militer melangkah lebih jauh. Disatu sisi mereka membentuk jajaran pengganti buruh mogok dengan mengerahkan orang-orang yang bertugas aktif, yang secara illegal ditempatkan dibawah komando militer walaupun melampaui masa tugasnya. Disisi lain mereka cukup berani memanggil para cadangan dan orang-orang dari Landwehr (kelompok bersenjata yang dipilih dan dibiayai oleh komunitas perkotaan, berlatih militer seminggu dalam setahun, yang dibebaskan dari tugas militer pada masa damai) yang dapat ditemukan diantara Buruh kereta api maupun Buruh non-kereta api, kedalam satu kelompok yang secara tekhis memungkinkan untuk menggantikan para buruh yang mogok. Tentunya hal itu dilakukan terhadap mereka dengan paksaan dan disiplin militer.

Ketiga adalah pemogokan Buruh kereta api Bulgaria yang dideklarasikan tanggal 2 Januari 1907. Tak kalah pentingnya adalah kampanye yang diluncurkan oleh menteri pertanian dan menteri perang Hunggaria diawal December 1960, untuk memerangi hak-hak para pekerja agrikultur untuk mogok dan membentuk serikat Buruh. Disini pelatihan sungguh-sungguh terhadap para prajurit untuk mengambil bagian dari kerja panen merupakan yang sangat penting. Di Perancis pun penggantian Buruh yang mogok menggunakan prajurit merupakan fenomena yang cukup dikenal.

Penguasa militer telah cukup lama yakin akan kebenaran pernyataan kapitalis: “dibalik setiap pemogokan tersembunyi semak-semak Revolusi”, Karena itu jika pukulan tangan, pedang dan pistol polisi tidak cukup untuk mengekang apa yang mereka sebut dengan kerusuhan pemogokan, tentara selalu siap sedia dengan pedang dan senapannya untuk merepresi budak pengusaha yang tidak patuh. Ini berlaku disemua negeri kapitalis!!

Sering kali tidak bisa dibuat garis pemisah antara tentara murni, polisi semi militer dan polisi. Mereka bekerja bergandengan tangan, saling menggantikan dan melengkapi satu sama lain dan sangat erat berhubungan, tepat karena persamaan ciri-cirinya yang tampak: tempramennya yang agresif dan penuh kekerasan, kesediaan dan kesigapannya menebaskan pedang pada Rakyat secara brutal dan kejam – ciri ciri tersebut juga ditemukan pada polisi dan polisi semi militer. Sifat-sifat tersebut umumnya adalah produk asli barak, buah hasil pendidikan dan pelatihan militer.

Tentara Sebagai Senjata Untuk Melawan Buruh Dalam Perjuangan Politik
Karena perkembangan perjuangan-kelas dalam bentuk yang paling terkonsentrasi adalah perjuangan-politik, maka wajarlah bila dalam perjuangan kelas ini pula akan berhadapan bentuk militerisme yang paling terkonsentrasi, terlihat dalam intervensi langsung ataupun tidak langsung dalam pertarungan politik. Militerisme pada awalnya beroperasi sebagai suatu kekuatan yang campur tangan dalam ekonomi, sebagai produsen dan konsumen. Liga Imperial menentang Sosial Demokrasi, contohnya mengontrol pabrik-pabrik militer di Spandau dengan sedemikian rupa sehingga berperan sebagai penjaga ketertiban (a vigilante), pengawas pikiran tiap pekerja di pabrik-pabrik kerajaan.

Menghapuskan militerisme atau melemahkannya sebisa mungkin merupakan persoalan hidup mati bagi perjuangan emansipasi politik, suatu perjuangan yang bentuk dan coraknya direndahkan oleh militerisme dan dengan demikian sifatnya sangat dipengaruhi olehnya, persoalan tersebut menjadi lebih vital karena superioritas tentara terhadap Rakyat tak bersenjata, terhadap Buruh jauh lebih besar dibanding masa-masa sebelumnya akibat sama tingginya perkembangan tehnik dan strategi, akibat begitu besarnya jumlah pasukan, akibat cara-cara merugikan memisahkan kelas-kelas menurut daerah/lokalitas dan akibat hubungan kekuatan ekonomi yang merugikan Buruh dihadapan Borjuis. Karena alasan-alasan tersebut Revolusi Buruh dimasa depan akan jauh lebih sulit tercipta dibandingkan Revolusi-revolusi sebelumnya.

Penting untuk selalu di ingat bahwa dalam Revolusi borjuis, kekuatan penggeraknya (borjuis revolusioner) telah lama memegang kekuasaan ekonomi sebelum pecah Revolusi dalam arti yang sempit dan bahwa terdapat suatu kelas yang besar (yang secara ekonomi bergantung pada borjuis dan berada dbawah pengaruh politiknya) yang dapat dimanfaatkan oleh borjuis untuk bertempur demi kepentingannya. Penting untuk diingat bahwa borjuis pada mulanya, dalam kadar tertentu telah mengambil sampah-sampah usang feodalisme sebelum menghancurkan dan membuangnya ke timbunan sampah. Sedangkan Buruh harus merebut kembali semua yang telah dirampas darinya, sementara perut mereka sendiri masih kelaparan dan bahkan dengan taruhan nyawa sendiri.

--------------------------------------
*Biografi singkat Karl Liebnecht:
http://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Liebknecht

**Gubernur atau utusan jaman kekaisaran, menancapkan topi diatas tonggak alun-alun kota, berhiaskan lambang Austria untuk mengetahui siapa saja yang tidak patuh kepada kekaisaran, barang siapa yang tidak hormat akan di hokum sebagai penghianat.

***Sebelum meletus perang dunia 1, pernah menjadi guberur jendral Afrika Timur Jerman, dan petinggi tentara mengkuatirkan pengaruh Sosial-Demokrasi kepada tentara.

****Pemogokan yang berlansung sebulan lebih, mulai terjadi tanggal 30 Januari 1903, yang berakhir dengan kemenangan pada 1 Febuary. Pada 10 Maret, undang-undang anti pemogokan dikeluarkan, pada tanggal 13 April, pemogokan umum dipatahkan.

Sumber KLIK DISINI

Copyright © 2014 KomitePolitikAlternatif Designed by Templateism.com IT CREATIVE MFiles

Theme images by konradlew. Powered by Blogger.